Empat

232 40 13
                                    

Apa itu pdkt? Chika bahkan sudah menolaknya di hari pertama ia mengakui kalau dia suka pada gadis itu. Tidak, dia tidak menyerah. Ia hanya mengikuti saran bundanya untuk tidak melakukan pendekatan dengan terburu-buru.

Untuk saat ini, biarkan dia mengagumi sang kakak kelas dari jauh. Seperti yang sedang ia lakukan sekarang. Ia berdiri di balkon depan kelasnya, matanya terkunci pada sosok gadis berambut coklat yang berada di depan kelas di lantai satu. Ia memamerkan giginya yang rapi saat gadis itu mendongak dan tak sengaja bertemu tatap dengannya. Tatapan yang hanya beberapa detik tapi menghasilkan begitu banyak kupu-kupu di perut Arsen.

"Ke kantin, yuk." Ajak Aldo.

"Bentar."

"Ngeliatin Kak Chika lagi, lu?" Aldo ikut melihat ke lantai satu dimana kakak kelas incaran Arsen berada. "Deketin bego, jangan diemin. Keduluan orang baru tau rasa."

"Gak bakal."

Aldo memincing. "Pede banget diliat-liat."

"Kenyataannya emang gitu. Orang Kak Chika masih galauin mantannya."

"Si tau banget, tuh." Ledek Aldo.

"Beneran, bunda gue yang bilang."

"Kok bunda lu tau. Oh, iya. Dia kan salah satu anak bunda lu, ya."

Arsen hanya mengangguk, dan memang benar informasi itu ia dapatkan dari Bundanya.

"Yaudah, deketin. Orang galau dideketinnya gampang."

"Bukannya makin susah."

"Makin gampang. Biasanya orang galau kayak gitu gampang dideketinnya karna lagi cari pelarian."

"Do, lu tau hewan yang suka makan pisang gak?" Arsen berujar dengan datar.

"Monyet."

"Iya. Itu lo."

"Si Anjing."

****

Langit Jakarta masih gelap, belum ada tanda-tanda hujan yang mengguyur sejak pagi tadi segera mereda. Arsen menutup tirai ruangan musik, ia memutuskan meninggalkan ruangan itu setelah melirik jam tangannya yang ternyata sudah jam lima kurang. Sekolah sudah sepi, ia hanya menemukan beberapa murid di koridor saat akan mengembalikan kunci ke ruang guru. Pasti anak-anak itu bernasib seperti dirinya, ingin pulang tapi oramg yang akan menjemput mereka terhalang banjir. Sebenarnya ia sudah akan memesan ojek online ketika melihat sosok yang sangat ia kenal duduk di salah satu bangku tak jauh dari gerbang sekolah jadi ia urungkan dan justru menghampirinya.

"Kak Chika."

"Hmm," Chika membalas sapaan Arsen malas.

"Kok Kak Chika belum pulang?" Tanya Arsen basa-basi.

"Nunggu jemputan."

Mulut Arsen membulat. "Baru aku mau nawarin pulang bareng."

Chika memincing, bagaimana bisa adik kelasnya itu menawarinya pulang bersama sedangkan dia tau kalau lelaki itu tidak membawa kendaraan. Jangan salah paham dulu, Chika tidak mengepoi Arsen. Hanya saja beberapa kali ia melihatnya diantar jemput.

"Bareng jemputan aku maksudnya. Aku belum boleh bawa kendaraan sama bunda soalnya." Arsen menyengir. "Jemputan kak Chika masih lama gak?"

Chika mendengus, "Gak tau."

"Aku temenin."

"Gak usah. Lo pulang aja." Tolak Chika cepat.

"Jemputan aku juga belum datang, sih Kak. Katanya lagi banjir. Pasti jemputan Kakak juga kehalang banjir."

Chika memutar bola matanya malas. "Ya terus kenapa lo nawarin gue pulang bareng kalau gitu?"

Bahu Arsen terangkat. "Siapa tau aja jemputan aku datang lebih dulu. Kan kita gak ada yang tau."

Chika menarik nafas, menetralkan emosinya. Tolong dimengerti, dia sudah kepalang kesal karena jemputannya belum datang karena seperti kata Arsen, sekarang sebagian besar jalanan terendam banjir. Sekarang malah ditambah Arsen yang berbicara ngaro ngidul. Tambah kesal lah dirinya.

"Kak Chika. Kak Chika suka hujan gak?"

"Enggak." Diluar dugaan, Chika menjawab pertanyaan Arsen.

"Kenapa?"

"Ya lo liat sendiri. Gara-gara hujan schedule gue jadi berantakan. Harusnya gue udah pemotretan sekarang tapi semuanya dibatalin gara-gara hujan sialan."

"Ih, gak boleh gitu tau, Kak. Hujan itu berkah dari Tuhan."

"Nyenye."

Arsen tersenyum, "Aku suka hujan sama suka Kak Chika juga."

"Gue tabok lo ya." Ujar Chika. "Pergi sana kalau masih mau berisik."

Arsen buru-buru menyatukan tangannya di depan wajah. "Maaf, Kak. Aku diem deh."

Lima menit pertama Arsen benar-benar diam, ia hanya menatap sekeliling dan sesekali mendongak menatap langit. Tentu saja beberapa kali curi-curi pandang pada Chika, tapi itu rahasia. Menit keenam mulutnya mulai gatal ingin berbicara tapi diurungkan, takut kena semprot lagi.

Entah pada kelirikan keberapa Arsen mulai menyadari kalau Chika kedinginan. Gadis itu tampak menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. Wajar, karena dia hanya memakai seragam. Arsen juga merasakan dingin yang sama. Namun entah dorongan dari mana ia justru membuka kemeja seragamnya.

"Gak usah." Cegat Chika, ia menyadari betul apa yang akan dilakukan laki-laki itu selanjutnya

"Eh?"

"Lu gak usah buka baju lu. Pake aja."

Arsen menunduk menatap kemejanya sendiri yang padahal hanya tersisa satu kancing saja sampai kemeja itu terbuka. Tanggung, pikirnya. Ia melanjutkan membuka kancing terakhir dan melepaskannya lalu meletakkan dengan cepat di bahu Chika.

"Gak papa, Kak Chika keliatan kedinginan." Katanya.

"Dibilang gak usah." Chika melepas kemeja itu dan mengembalikannya kepada Arsen yang hanya butuh dua detik untuk meletakkannya kembali ke bahunya.

"Please, Kak. Pake aja, biarin aku berbuat baik ke Kak Chika."

Chika mendengus namun tetap mengucapkan terima kasih. "Makasih kalau gitu. Makasih juga untuk makanan sama minuman yang sering lu simpan di meja gue."

"Lah, Kak Chika tau itu dari aku. Gak asik." Arsen menendang-nendang kecil kerikil di kakinya. "Aku kan mau jadi secret admirer kak Chika."

Chika mendengus, tentu saja ia tahu semua makanan atau minuman yang setiap hari ada di mejanya dari siapa karena tidak ada yang berani melakukan itu kecuali Arsen. Bahkan lelaki itu beberapa kali meletakkannya secara terang-terangan di saat Chika sudah duduk di bangkunya. Jadi kenapa dia masih berharap kalau Chika tidak mengetahuinya. Dasar manusia aneh.

"Pokoknya terima kasih."

Arsen mengangguk sambil tersenyum. "Iya. Lumayan aku bisa dapat pahala."

Oke, Chika rasa ia perlu menarik ucapan terima kasihnya.








Hehehe.
Ini masih mau dilanjut atau distop aja?

Kalau ada typo harap maklum, ngetiknya mata udah merem melek karena ngantuk.

MozaikWhere stories live. Discover now