Enam

232 40 3
                                    

"Bro, gimana pedekatenya?"

Pertanyaan dari Boby yang sedang berbaring di kasur membuat Arsen menghentikan petikan pada gitarnya, ia memutar kursinya menjadi menghadap kepada Sang Babah.

"Masih gitu-gitu aja."

"Gitu-gitu gimana?" Tanya Boby bingung. "Kamu udah nembak dia? Ini udah 3 bulan loh."

Arsen mengangkat bahunya, "Kak Chika gak pernah nolak pemberian Arsen lagi, tapi selalu nolak kalau Arsen ajak jalan. Jadi Arsen gak pernah nembak dia."

"Sen."

"Hmm?"

"Sebenarnya ada cara lebih mudah buat ngedeketin kakak kelas kamu itu."

"Apa?"

Boby diam sejenak. "Bilang aja kamu anak Shania Junianatha. Minimal dia gak akan nolak ajakan jalan kamu lagi kalau dia tau kamu anak bunda kamu."

Arsen mendengus. "Gak akan. Kalau Arsen mau, Arsen udah lakuin itu dari dulu. Tapi Arsen mau dia iyain ajakan Arsen karna Arsen, bukan karna Arsen anak bunda."

Boby menatap Arsen yang kini sedang memangku Choco, kucing peliharaannya. Kagum sendiri akan pemikiran anaknya itu. Kalau ia adalah Arsen, sudah pasti ia memakai cara yang baru saja ia katakan. Bodo amat ajakan nge-date diiyakan karena privilege yang ia miliki, yang penting jalan sama gebetan terealisasi.

Selesai dengan pikirannya, Boby kembali berbaring menatap langit-langit kamar Arsen yang bermotif luar angkasa. Sedangkan sang empunya kasur masih duduk di kursi belajarnya yang bergerak memutar ke kiri dan ke kanan.

"Babah sama Bunda dulu jadiannya gimana?"

Tiba-tiba senyum tersungging di bibir Boby. Ia dan Shania memang sudah sering menceritakan kisahnya kepada sang anak, tapi tidak pernah menceritakannya secara detail. Mungkin malam ini adalah saat yang tepat untuk ia menceritakannya. Mumpung dua perempuan di rumah itu sedang tidak di rumah. Bukan tanpa alasan, biasanya di tengah obrolan salah satu dari perempuan itu akan menyelonong masuk kamar dan menghentikan obrolannya.

Boby duduk lagi, senyum sumringah menghiasi wajahnya. Beberapa saat kemudian rentetan insiden "penembakan" dan "pengklaiman" yang terjadi antara dirinya dan Shania di masa SMA keluar dari mulutnya.

***

Arsen berdiri di tengah lapangan, teriknya matahari serta tatapan penasaran dari murid-murid yang melihatnya sama sekali tidak ia hiraukan. Tekadnya sudah sangat kuat, sekarang atau tidak sama sekali.

Genggamannya di bucket bunga dipererat begitu melihat Chika berjalan di koridor bersama Ashel.

"Kak Chika!"

Bukan hanya Chika yang menoleh menatapnya, tapi seluruh murid dan beberapa guru yang ada di koridor pun ikut menoleh. Seketika gugup melandanya, ia melirik Ashel yang berdiri di samping Chika sambil merangkul lengannya. Gadis itu berujar tanpa suara, mengatainya gila. Well, ia sudah menceritakan niatnya kepada gadis itu tadi malam. Walaupun gadis itu sudah mewanti-wantinya untuk tidak melakukannya. Tapi seperti yang sudah tertulis di paragraf sebelumnya, tekadnya sudah sangat kuat.

Ia menarik nafas sekali, meyakinkan diri lalu berucap dengan sangat lantang dan mata tertutup.

"Kak Chika, aku suka kak Chika. Kak Chika jadi pacarku ya?"

Hening.

Beberapa detik kemudian terdengar suara tepuk tangan dan tawa yang bersahutan. Arsen membuka matanya pelan, matanya membulat ketika tidak menemukan Chika di tempat terakhir ia melihatnya. Ia belum sempat menoleh mencari keberadaan Chika ketika kedua tangannya yang masih menyodorka bucket bunga ditarik turun oleh Aldo. Lalu ia biarkan dirinya diseret meninggalkan lapangan.

"Pulang bego." Ujar Aldo.

Di tempat lain, tepatnya di dalam mobil. Chika menutup wajahnya dengan sweater, merasa sangat malu pada apa yang baru saja terjadi. Tepat setelah Arsen menyelesaikan kalimatnya tadi, ia menarik Ashel pergi, rasanya ia ingin menghilang dari muka bumi. 

"Anjirlah, si Arsen. Gak punya malu banget. Hahaha.." Ujar Ashel yang masih tertawa.

"Lu bisa diem gak?"

"Enggak. Ini tuh lucu banget. Gue harus update."

Chika merampas ponsel Ashel, "Lu gak usah aneh-aneh."

Tawa Ashel masih terdengar sedangkan Chika sibuk mengumpat di dalam hati, tak habis pikir Arsen bisa melakukan hal senekat itu. Masalahnya Arsen melakukannya di jam pulang sekolah dimana hampir semua murid dapat melihatnya, bahkan masih ada guru. Maksudnya, hal itu bisa mempermalukan dirinya sendiri.

***

Tawa Christy menggema di ruang keluarga, sudah berapa kali ia mencoba meredakannya tapi selalu gagal ketika melihat wajah Arsen yang tertekuk. Abangnya itu baru saja menceritakan apa yang terjadi di lapangan sekolah sepulang sekolah tadi pada keluarganya. Dan yang bisa ia lakukan hanya tertawa.

Di sisi lain Shania memijit keningnya, sedangkan Boby hanya bisa menggeleng karena tidak menyangka anak sulungnya itu meniru apa yang dilakukan Bundanya hampir dua puluh tahun lalu. Padahal ia menceritakan detail kejadian itu tadi malam bukan untuk Arsen tiru.

"Jujur, Babah ampe gak bisa ngomong apa-apa." Ujarnya.

"Trus Arsen harus gimana?" Dari nada bicaranya, Shania tahu kalau anaknya itu sudah benar-benar putus asa.

"Kalau kata Bunda, mulai besok kamu harus nebelin muka kamu, buang rasa malu kamu jauh-jauh."

"Kenapa?"

"Bunda yang sama babah yang jadian beneran aja sampe sekarang masih sering diledekin sama temen bunda atau babah kalau ketemu. Apalagi kamu yang ditolak."

"Arsen gak ditolak!" Tepis Arsen cepet.

"Tapi ditinggal. Hahahaha." Tawa Christy kembali terdengar menggema di ruang santai.

Arsen mengambil bantal sofa dan melemparnya kepada sang adik yang berhasil menghindarinya.




He
He
He
He

Gaisss, kalau ada saran sama kritik boleh banget loh.

MozaikWhere stories live. Discover now