Bab 1 - Birthday Cake

797 30 1
                                    

Pov Aya :

"Maaf ya Sayang, aku ga bisa jemput kamu. Aku ada urusan sama anak-anak organisasi. Kamu bisakan pulang sendiri?" ucap Irsyad padaku begitu ia mengangkat telfonku.

"Yahh... kok gitu sih, padahal kamu udah janji mau jemput aku pulang. Terus aku gimana dong mana udah mendung gelap gini..." aku mencoba merayunya untuk mengutamakanku daripada organisasinya.

Irsyad memang anak organisasi yang cukup aktif. Bahkan bisa di bilang cukup tersohor setelah ia menang pemilihan sebagai ketua senat. Aku tau semua orang memerlukannya, Irsyad juga berkali-kali bilang jika ia tidak bisa selalu menjadikanku prioritas setelah ia menjabat nanti. Dulu aku setuju, tapi aku tak menyangka akan sediabaikan ini.

"Ya mau gimana lagi Aya, aku kan udah bilang sama kamu ga bisa terus-terusan prioritasin kamu. Ada organisasi juga yang harus aku urus. Maaf ya..." ucap Irsyad lagi tanpa ada usaha untuk menjemputku. Bahkan berbasa-basi akan memesankan taxi saja tidak.

"Tapi besok kamu ada waktu kan buat aku?" tanyaku yang akhirnya mengalah dan tak mau memaksanya lagi.

"Insyaallah, tapi aku ga janji ya. Aku besok masih ada beberapa acara juga," jawabnya lagi lalu buru-buru mematikan telfonnya ketika ada orang yang tiba-tiba memanggil namanya.

Aku hanya bisa diam menghela nafas dan mulai memesan taxi online untuk pulang. Aku sedikit kasihan pada Irsyad kekasihku yang jadi super sibuk dan tak memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Aku sedikit mengkhawatirkan kesehatannya, terlebih belakangan ini ia begitu sibuk mempersiapkan seminar-seminar dan diskusi hingga malam hari. Kami juga jadi jarang ketemu, bahkan untuk sekedar makan siang berdua saja tidak bisa.

"Adek Aya! Woi! Adek Aya!" suara Om Beni yang langsung menghampiriku di depan emperan ruko bahan roti. "Adek ngapain disini?" tanya teman ayahku ini dengan hangat seperti biasanya.

"Lagi mau pesen taxi Om," jawabku sambil tersenyum sungkan.

"Mau di anter gak? Udah mendung gini, sekalian yuk!" ajak Om Beni yang langsung membantuku membawa semua belanjaanku kedalam mobilnya.

"Makasih Om, maaf ngerepotin..." ucapku sungkan lalu duduk di depan, di samping Om Beni yang siap menyetir pulang.

"Santai aja, btw kamu kok ga di anter cowokmu. Siapa itu Arsyad?"

"Irsyad Om," ralatku. "Irsyadnya lagi sibuk ngurusin organisasi katanya, mau ngadain semnas lagi jadi sibuk dia," jawabku.

"Aduh kasihannya ponakan Om ga di prioritasin. Tapi minggu depan jadi kan acara lamarannya kamu?" tanya Om Beni memastikan.

Aku mengangguk lalu tersenyum dengan sumringah. "Jadi dong, Mamanya Irsyad udah sering kontekan sama Bunda, keluarganya juga udah deket sama Ayah sama Kakung juga. Doain lancar ya Om," ucapku yang sudah langsung melupakan soal kekecewaanku karena tak dapat di jemput Irsyad.

Aku selalu bahagia jika membahas soal kekasihku itu. Jantungku selalu berdebar, rasanya seperti banyak kupu-kupu yang siap beterbangan keluar dari perut dan dadaku. Ah bahagianya, hanya membayangkan bisa terus bersama Irsyad sudah membuatku sesenang ini. Aku jadi tidak sabar untuk segera menikah dengannya.

"Kamu pengen banget ya kayak Ayah sama Bundamu?"

"Iya dong Om, jadi nanti kalo punya anak jarak umurnya masih belum jauh. Kayak sekarang nih. Ayah sama bunda masih 38-39 taun anaknya udah 20 taun. Om Beni sendiri kenapa masih belum pengen nikah?" tanyaku yang jadi penasaran pada sahabat Ayah ini.

Om Beni tampan, pintar, mapan sudah jelas. Aku sempat suudzon jika Om Beni tak menyukai wanita, tapi beberapa taun lalu Ayah sempat menemani Om Beni melamar pujaan hatinya. Tapi tak selang lama gagal menikah. Alasannya kurang jelas, Ayah juga bilang untuk tidak membahasnya dan menganggap tidak terjadi sesuatu agar Om Beni tidak sedih.

My Lover 🔞Where stories live. Discover now