Bab 8 - Salah Paham

219 10 0
                                    

Pov Beni :

Aya tampak baik-baik saja dan kelihatannya ia akan mudah berbaur dengan teman-teman Mama dan saudaraku yang lain. Tapi entah kenapa Aya terlihat murung. Kemarin aku yakin ia sudah cukup ceria kembali. Tapi hari ini ia sudah murung lagi.

Aku jelas ingin menemani Aya. Meskipun ia akan lebih banyak diam dan duduk di sampingku saja. Tapi rasanya itu jauh lebih menyenangkan dari pada yang ku lakukan sekarang. Sudah pengar telingaku mendengar Ica yang masih saja mengajakku bicara.

Asli aku sudah lelah mendengarnya bicara dan segala topik pembicaraannya yang terus coba ia sampaikan. Ia hanya berkata ingin mengunjungiku, mampir sebentar karena memang kami alumni dari kampus yang sama. Tapi aku tak membayangkan jika Ica akan ikut datang kerumahku hari ini.

Teman-teman gengku mulai datang, aku tak mau ada kesalah pahaman jika sampai mereka mengira Ica adalah pasanganku. Melajang terlalu lama memang tidak enak, aku tidak sok suci tapi aku tak bisa bersama dengan Ica. Ica adalah perempuan paling problematik yang pernah ku kenal.

"Jadi sebenernya kamu mau ngomong apa sih dari tadi? Ngapain harus berduaan segala?" tanyaku sedikit ketus karena sudah lelah dan ingin segera menemui Aya. Paling tidak bertemu dengan temanku dulu lah.

"A-aku sebenernya cuma mau bilang kalo aku udah jadi janda..."

Kan benar! Dia memang problematik. Aku sudah muak mendengarnya. Aku sudah lelah dan tidak tertarik lagi. Menyesal betul aku menyapanya dulu saat ia baru di terima sebagai pegawai akademik kampusku. Kalau saja aku tidak refleks menyapa, pasti aku tidak akan berakhir seperti ini sekarang.

"Ca... aku gak mau dengerin curhatanmu, itu juga bukan urusanku. Udahya, kamu pulang aja. Aku masih ada urusan," ucapku lalu ancang-ancang bangkit dari dudukku.

"Ben, kamu tau ga sih kalo aku suka sama kamu? Sejak kita kuliah dulu, kamu tau gak sih?"

Sialan kenapa jadi begini arah pembicaraannya. Aku kembali duduk menatap Ica dengan serius.

"Ca, aku ga suka kamu. Selamanya bakal sama perasaanku, aku gak pernah suka kamu. Kamu gak lebih dari temen kelompok di kelas. Temen seperjuangan waktu kuliah. Itu aja, titik. Kenapa kamu jadi gini sih? Gak asik tau gak!"

"Ben, kapan sih kamu dewasa? Kita udah bukan anak kuliahan lagi..."

"Ya tapi aku gak suka kamu Ca, mau gimana?"

"Ya tapi kenapa? Aku udah janda, kamu juga belom nikah..."

Sejujurnya dia masih banyak bicara membuat cocokologinya sendiri, lalu memposisikanku seolah-olah aku adalah orang yang paling bertanggung jawab atas apa yang menimpanya saat ini. Bahkan caranya bicara jadi lebih cepat dua kali lipat dari sebelumnya dengan semua omong kosong yang ia buat.

"Ca, udah ya. Aku punya pendirianku sendiri. Aku punya pikiranku sendiri. Jadi plis banget. Tolong! Tolong jangan kayak gini. Gak bakal ada kata kita diantara aku sama kamu. Paham?" putusku.

Sialnya Ica malah langsung menangis mendengar penolakanku. Aku tak mau bermasalah dengan perempuan, apalagi memang sedari awal perempuan itu dipenuhi masalah. Ayolah aku ingin membangun keluarga, rumah tangga bukan rumah bordil dan penjara. Ica terlalu banyak masalah. Bahkan gosip yang ku dengar ia sudah menikah 2 kali.

Tapi terlepas dari berapa kali ia menikah, aku tidak peduli. Cukup dulu ia membuat rumah tangga Arman nyaris goyah itu saja. Aku tidak mau jadi setolol itu untuk dekat dengannya. Dia wanita tupai, yang hanya akan melompat dari satu pohon ke pohon yang lain.

"Udah ih Ca! Diem lu! Ntar di kira gue lagi yang ngapa-ngapain lu!" sudah habis kesabaranku. Kalau saja aku dia bukan seorang perempuan sudah ku hantamkan bonsai milik Papa ke kepalanya.

Ica malah semakin menjadi dan sekarang aku sudah mulai memikirkan cara untuk menghindar darinya. Atau menghajar mahluk absurd problematik ini. Kenapa sih dia ini tidak pernah cukup hanya dengan satu pria? Kenapa semua harus menjadi miliknya?

Aku mulai mengedarkan pandanganku ke sekeliling berjaga-jaga jika ada yang melihatku. Khawatir jika ada yang melihat lalu langsung menuduhku yang tidak-tidak. Atau malah Aya yang melihatku dan akan menjaga jarak denganku.

"Oit! Sorry Om!" seru Aska yang tak sengaja melihatku bersama Ica dan langsung menjauh.

"Bang tunggu!" aku langsung mengambil kesempatan untuk kabur dari Ica dan mengejar Aska masuk.

Aku langsung mendekat ke Mama dan mengajaknya bicara berdua. Sementara Aya tampak murung dan hanya diam dari tadi sembari mengupaskan jeruk untuk Amar. Ica masuk untuk mengambil tasnya, airmatanya juga sudah tak mengalir lagi meskipun ia masih terlihat sedih.

"Itu kenapa cewekmu?" tanya Mama begitu melihat Ica yang langsung pergi setelah mengambil tasnya.

"Itu bukan cewekku, itu orang yang dulu hampir jadi selingkuhannya Arman Ma," jawabku sambil mengusap wajahku.

"Ya Allah! Astaghfirullah!" seru Mama kaget bukan main dan langsung terlihat kesal.

Ica juga pergi tanpa pamit begitu saja. Meskipun ada tanteku yang coba bertanya basa-basi dengannya.

"Kok dia bisa deketin kamu? Dia temenmu yang dulu nikah waktu kamu ambil S2 bukan sih?" tanya Mama memastikan.

"Iya itu, ga tau deh Ma. Tiba-tiba dateng bilang kalo aku cinta sejatinya." Aku menghela nafas dengan berat. "Mama tolong ya jangan terlalu berharap kesemua cewek yang ku ajak. Aku mau menikah dengan cewek yang tepat. Bukan yang asal dapet. Aku takut mereka jadi baper, terus muncul masalah baru."

Giliran Mama yang menghela nafas lalu mengangguk sebelum kembali bersama yang lain di ruang tengah.

"Mama, mau pamit. Nanti sore Amar ngaji," pamit Aya tiba-tiba sementara Amar sibuk memasukkan permen ke kantung celananya.

"Lah cepet banget, di sini aja dulu. Bobok siang disini gapapa," ucap Mama namun tetap menyalimi Aya dan Aska sembari memeluk dan menciuminya. "Adek mau bawa jajan?" tawar Mama pada Amar.

Amar menggeleng. "Ini sudah!" jawabnya ceria sembari menunjuk kantung celananya yang sudah penuh terisi lalu menyalimi orang tuaku.

"Pulang dulu Om," pamit Aska lalu menyalimiku begitu juga Amar dan Aya.

Aya masih diam, samar aku melihat gantungan kunci baru di tasnya. Sial! Aku lupa kalau berjanji ingin melihat gantungan baru koleksinya. Aya hanya diam tak ada senyum lagi untukku, entahlah memang ia tak mau tersenyum padaku atau hanya perasaanku saja. Tapi aku benar-benar merasa buruk kali ini.

Aku ingin menahan Aya tapi dia sudah terlanjur naik ke motor, dan tangannya juga sudah penuh membawa bawaan dari Mamaku. Aya juga sudah tidak melihat kearahku lagi dan jelas ia hanya tersenyum pada Mama saja. Aku hanya bisa diam dan mulai berpikir, kenapa aku jadi begini? Kenapa aku perlu menjelaskan pada Aya?

"Pasti yang bakal jadi suaminya Aya beruntung banget ya," ucap Mama tiba-tiba. "Cantik, pinter, solehah, bisa masak. Betah pasti calonnya."

Aku menatap Mama sejenak dan kembali teringat saat Aya ku jemput dan menangis kemarin. Gadis kecil yang malang... batinku sedih mengingat kejadian kemarin.

"Ma kalo aku nikah sama cewek seumuran Aya gimana?" tanyaku pada Mama.

Mama mengangguk. "Ga masalah, kalo ceweknya mau. Orang tuanya gak keberatan boleh sih. Kamu kan cowok, udah mapan juga, apa coba yang perlu di khawatirkan?" jawab Mama lalu kembali masuk dan mengobrol bersama saudaranya dan aku kembali bersama gengku yang sedang perbaikan gizi.

 Kamu kan cowok, udah mapan juga, apa coba yang perlu di khawatirkan?" jawab Mama lalu kembali masuk dan mengobrol bersama saudaranya dan aku kembali bersama gengku yang sedang perbaikan gizi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
My Lover 🔞Where stories live. Discover now