Bab 7 - Rumah Om Beni

245 8 0
                                    

Pov Irsyad :

"Calonmu kurang sopan Mas, acara keluarga belum kelar udah pergi duluan. Padahal belum ngobrol banyak sama Ibu, sama Mbakmu juga. Pulang gak pamit, tiba-tiba di jemput siapa tadi itu gebetannya atau apanya..."

"Om Beni, itu omnya Buk..." aku mencoba menenangkan Ibuku yang terlihat kurang suka pada Aya lagi.

Sudah susah payah aku meyakinkan keluargaku untuk menerima Aya kemarin. Sekarang harus mulai lagi dari awal untuk meyakinkannya karena sikap Aya tadi siang. Lagian apa salahnya coba membantu cuci piring saat acara. Kenapa gengsinya begitu tinggi.

"Sundal cewekmu itu! Di depan cowoknya sendiri, di depan calon mertua, calon ipar, keluarga besar malah pelukan sama cowok lain! Itu apa namanya kalo bukan cewek gatel? Cewek sundal ga tau diri!" Mbak Ina ikut menimpali mengeluh soal Aya.

Sial makin tersudutlah aku. Aku tau keluargaku banyak yang tidak suka dengan Aya. Lagi, padahal menurutku Aya adalah calon istri yang sempurna. Cantik, pintar, kalem, jangan lupa badannya yang aduhai itu. Siapapun pasti tak tahan menolak pesonanya. Apalagi sudah 3 tahun berturut-turut sejak ospek pertamaku bersamanya dan Aya masih saja di dapuk menjadi model untuk kampusku. Kurang beruntung apa aku bisa mendapatkannya.

"Aya gak gitu. Aya kan anak orang kaya, pembantunya banyak. Wajar kalo dia kaget di suruh bantu-bantu," aku coba membela Aya.

"Terus dia mau apa kesini maksudnya? Duduk doang? Makan sama ongkang-ongkang kaki aja? Iya gitu maunya?!" sinis Mbak Ina lagi.

Aku diam sambil mengusap wajahku dengan gusar. "Hla terus mau gimana? Orang Aya emang belum terbiasa... aku juga ga bisa bantuin dia tadi..."

"Ya Allah, cowok suruh bantuin? Kamu ini calon suami apa calon babunya Aya?" omel Mbak Ina semakin emosi.

"Udah gak usah gitu. Aya emang gak terbiasa, semua emang perlu pembiasaan. Gapapa di maklumi aja," ucap Bapak yang lewat setelah pulang dari mengobrol di masjid selepas Isya'.

"Bapak ini! Selalu deh gitu, suka manjain cewek yang di ajak Irsyad!" omel Mbak Ina yang entah kenapa jadi begitu sensitif belakangan ini.

"Iya Bapak nih, nanti ngelunjak anaknya kalo di baikin! Gak bisa bakti ke suami!" Ibu ikut menimpali Mbak Ina.

Aku hanya diam lalu menghela nafas lagi. Aku sudah bingung harus bagaimana sekarang. Keluargaku tidak menyukai Aya dan hubungan kami sudah terlanjur jauh. Lamaranpun juga sudah hitungan hari. Mau mundur tidak mungkin, apa ini yang namanya ujian cinta.

***

Pov Aya :

Belum pernah perasaanku sekacau ini. Kemarin memang aku sangat bahagia karena Om Beni yang hampir menghabiskan seluruh waktunya denganku. Ya... meskipun hanya lewat chat saja. Tapi aku sudah sangat bahagia. Aku merasa istimewa. Di tengah-tengah kesibukan Om Beni yang padat dan asik dengan dunianya, dia mau memprioritaskan aku.

Aku sudah selesai dengan aktivitas pagi hariku. Karena hari ini akan mengunjungi rumah Om Beni dan jelas akan bertemu orang tuanya juga. Bunda memintaku membawa satu pack kemasan Wedang Uwuh untuk orang tua Om Beni. Kebetulan kemarin sebelum pulang Abang juga beli banyak stok Wedang Uwuh itu. Aku tidak begitu suka rasanya, tapi Kakung dan orang-orang tua lain suka, yasudah lah.

"Nanti Adek jangan pecicilan ya, jangan ngerepotin Mamanya Om Beni!" Bunda mewanti-wanti Amar yang daritadi sudah pecicilan tak sabar pergi kerumah Om Beni.

"Iya!" jawab Amar bersemangat lalu melompat-lompat di sofa.

"Nanti di tempat Om Beni jangan lompat-lompat di sofa!" ucap Bunda lagi lalu memeluk Amar. "Emhhh... anak pinter, anak sehat, pecicilan terus!" lanjut Bunda sambil menepuk-nepuk pantat Amar dan menciuminya dengan gemas.

My Lover 🔞Where stories live. Discover now