Bab 2 - Aya Sedih

302 15 1
                                    

Pov Beni :

Aku mengerutkan keningku lalu tersenyum mendapati Aya yang mencariku lebih awal. Aku tau ini tolol dan memalukan, di teriaki sebagai pedofil pun aku tak masalah. Rasanya juga memang aneh ketika aku mulai melihat bocah yang dulu ku gendong dan minta di temani BAB sekaligus cebok sudah menjadi wanita dewasa yang begitu menawan.

Wajahnya jauh lebih cantik dari ibunya. Meskipun aku kadang masih berpikir untuk merebut Sofia dari Arman. Tapi setelah aku menyaksikan sendiri perjuangan mereka mempertahankan rumah tangga, aku jadi tidak tega untuk merebut istri dari sahabat sekaligus mantan rivalku ini. Dan menyakiti hati ketiga anaknya.

"Sini!" sambutku begitu Aya sampai ke aula lantai 4 gedung ilmu politik.

Aya tersenyum lalu berjalan ke arahku dan duduk disampingku bersama jajaran dosen lainnya. Seperti biasanya saat gadis kecil yang sudah tak sabar melepas masa lajangnya ini jika ikut bersamaku. Aya terlihat sembab, mungkin mengantuk dari kecil jika ia mengantuk dan terlalu banyak menguap pasti matanya sembab. Sudahlah pasti dia baik-baik saja, apa lagi katanya hari ini akan membuat kejutan untuk kekasihnya.

"Nih..." ku berikan arem-arem jatahku pada gadis kecil kesayanganku yang sudah dewasa ini.

"Om Beni udah makan?" bisiknya padaku, Aya masih saja sungkan menerima pemberianku. Aya masih suka berbagi seperti saat masih balita dulu.

Aku langsung mengangguk dan kembali menyemak Prof. Hasan yang sedang menyampaikan materi seminarnya. Aku berusaha tetap waras dan terus mengingat Aya saat masih berusia 2 tahun. Sialan! Meskipun aku melihat saat ibunya hamil dulu, bahkan aku juga makan kambing akikohnya juga tetap saja aku tak bisa memungkiri perasaanku padanya.

Sabar! Tahan Beni! Tahan! Ingat kamu pernah cebokin dia dulu! Rapalku berulang kali tiap aku menatap Aya yang sedang menikmati snack jatahku dengan lahap.

"Emhh..." dehamnya sambil menyodorkan puding padaku.

Aku menggeleng dengan alis berkerut. Aya kembali menyodorkan risol lalu air mineral padaku. Mungkin ia tak enak hati sudah memakan snack jatahku. Tapi aku hanya tersenyum melihatnya mencoba berbagi kembali denganku.

"Nanti Om mau makan siang dimana?" tanyanya sambil berbisik.

"Di rumahmu lah, masak iya nganter kamu ga di kasih upah," jawabku slengekan yang membuatnya tersenyum lalu tertawa kecil meskipun tak berapa lama aku melihatnya kembali murung.

Entah apa yang membuatnya murung. Apa mungkin karena kekasihnya lagi? Bangsat betul si Irsyad jika benar Aya di buat kembali bersedih karenanya. Sudah tampang tak seberapa, kemampuan otak tidak lebih pintar daripada lemur di Madagaskar, harta juga tak seberapa. Berani sekali nyalinya untuk menyakiti Aya!

"Adek, balik duluan yuk!" ajakku yang di angguki Aya dengan pasrah sambil meminum air mineralnya.

"Om Beni gak mau tanya dulu?" tanyanya yang langsung ku gelengi. Aku lebih penasaran pada apa yang membuat Aya murung. Aku tidak yakin caraku bicara padanya akan terdengar baik dan cukup membuatnya nyaman sebagai anak remaja. Tapi aku berusaha.

"Yuk!" ajakku lalu bangun dan langsung berjalan keluar di ikuti olehnya.

Aku tau Aya sedang ada masalah, lagi yang kesekian kalinya dengan Pulu-pulu sialan itu. Aku kenal betul bagaimana Aya, dia tidak cengeng meskipun hatinya lembut. Dan hanya hal-hal yang benar-benar masuk kehatinya saja yang bisa membuatnya merasa sedih seperti sekarang.

"Adek lagi marahan sama Abang ya?" tanyaku yang jujur saja lebih berharap jika Aya sedang sedih karena Aska.

Aya menggeleng lalu meringis. "Enggak! Abang kan di Jogja. Belum pulang gimana yang berantem. Aku udah jarang berantem sama Abang sejak punya adek," jawabnya terlihat lebih ceria kembali.

Fugh! Berarti benar karena pacarnya yang tidak tau diri itu lagi.

"Ah abis berantem sama Amar nih pasti!" tebakku tak mau menerima kenyataan kalau Aya di buat sedih pacarnya.

Aya menggeleng pelan. "Gak berantem, aku gak sengaja bentak Amar. Nanti pulang aku mau minta maaf sama dia," ucapnya lalu tersenyum getir.

"Bentak kenapa? Tumben kamu bentak-bentak..."

Kling! Kling! Kling! Pesan masuk ke ponsel Aya berkali-kali. Aya mengangkat ponselnya dengan datar, lalu memasukkan ponselnya kedalam tas setelah membaca isinya. Badanku jauh lebih tinggi dari Aya yang hanya setinggi 165 cm ini, meskipun jarak umurku dengannya terpaut 20 tahun. Tapi rasanya tinggiku yang mencapai 185 ini masih belum menyusut jarena usia.

"Marahan sama Irsyad?" tebakku pada akhirnya setelah menduga-duga dan melihat isi chatnya.

Aya mendongakkan kepalanya lalu mengangguk sambil tersenyum. Aya benar-benar manis, dia gambaran kecantikan dan ketulusan yang nyata. Ku akui hebat sekali Arman yang membuatnya, juga Sofia yang mendidiknya hingga begitu cantik si Aya ini.

"Irsyad agak jahat, tapi minggu depan kan kita tunangan jadi..."

"Jadi?" tanyaku menuntut jawaban atas ucapannya yang menggantung.

"Jadi ini ujian cinta buat hubunganku," lanjutnya yang sudah kembali ceria.

Apa sebenarnya mantra cinta yang dirapalkan bajingan itu pada Aya hingga bisa seperti ini?! Bajingan sialan bisa-bisanya dia mempermainkan mood dan perasaan Aya! Akan ku pelintir pelernya hingga lepas kalau sampai dia merubah Aya yang manis ini!

"Kenapa gak di bales?" tanyaku lalu menuruni tangga bersama Aya.

"Biarin aja dulu, biar dia sampe rumah dulu. Siapa suruh jahat ke aku!" ucap Aya jual mahal lalu tersenyum sumringah kembali.

Aku ikut tersenyum saja mendengar dan melihat jawaban Aya. Aku tau Aya bukan perempuan seperti itu. Ia tidak akan pura-pura jual mahal seperti ini jika hanya ada masalah kecil seperti yang biasanya.

Aku membukakan pintu mobil Rubiconku untuk Aya. Aya naik dan duduk manis sebelum aku menutup pintunya. Jarang-jarang aku memperlakukan Aya seperti ini, bukan cuma Aya tapi wanita lainnya juga. Entah dorongan darimana pula aku tiba-tiba mau membukakan pintu untuknya duluan begini.

"Makasih Om..." ucapnya lembut lalu memakai sabuk pengamannya.

Sepanjang perjalanan kerumah Aya ponselnya terus berdering entah di telfon atau menerima pesan. Aya sudah tak sesumringah tadi lagi. Aya benar-benar mengabaikannya dan tak ada niatan mangangkatnya sedikitpun. Sepanjang jalan yang biasana bisa mengobrol dengan Aya juga kali ini terasa begitu berbeda. Aya hanya diam, aku jelas coba mengajaknya bicara tapi ia tak menyautinya jadi aku ikut diam.

Hingga sampai di depan rumah. Aku turun lebih awal lalu membukakan pintu untuknya. Lagi, aku heran kenapa bisa tubuhku refleks memberikan pelayanan yang begitu manis untuk Aya. Aya tersenyum simpul, bibirnya memang tersenyum tapi pandangannya tetap sedih seperti sebelumnya.

Aya langsung masuk mengabaikan pacarnya yang sudah menunggunya diatas motor Vespa matic berwarna biru keluaran taun lama itu. Irsyad berusaha mengejarnya tapi aku jelas langsung menahannya. Sialan! Bisa-bisanya aku yang sudah pernah mengasuh Aya dan selalu mengajaknya bersenang-senang dengan baik ini kalah dengan cowok kemarin sore yang hanya bermodal motor matic.

"Kalo kamu macem-macem sama Aya, saya pelintir pelermu sampai lepas..." bisikku sembari mendorongnya menjauh dari gerbang rumah sohibku.

"Om Beni!" teriak Amar menyambutku sambil membawa dua lembaran kertas origami, sepertinya ia akan menagih janjiku untuk membuat pesawat lagi.

Irsyad mencoba memalingkan wajahnya lalu tertunduk takut sementara aku langsung masuk. Karena Arman juga langsung melambaikan dua stik PSnya ke arahku dan sama-sama mengabaikan bocah sialan ini.

 Karena Arman juga langsung melambaikan dua stik PSnya ke arahku dan sama-sama mengabaikan bocah sialan ini

Ups! Tento obrázek porušuje naše pokyny k obsahu. Před publikováním ho, prosím, buď odstraň, nebo nahraď jiným.
My Lover 🔞Kde žijí příběhy. Začni objevovat