Bab 3 - Kesempatan Kedua

283 14 2
                                    

Pov Aya :

Jelas aku masih ingat betul bagaimana Irsyad begitu jahat padaku. Ini hari ulang tahunnya dan ia malah lebih memilih menghabiskan waktu bersama...entah siapa wanita tadi, tapi yang jelas dia membuat Irsyad tak jadi mengejarku. Irsyad lebih memilih dia daripada aku.

Hampir sejam aku menangis di masjid yang sepi sembari menanangkan diriku. Aku benar-benar sedih, marah dan kecewa padanya. Sulit sekali untuk memaafkannya kali ini. Sudah aku tidak di prioritaskan, ia juga lebih memilih wanita lain. Jahat sekali.

Tadi aku juga sudah membentak Amar dan memarahinya karena ingin kue buatanku. Jahat sekali aku ini, harusnya aku mendahulukan keluargaku bukan Irsyad yang jahat padaku. Bahkan sampai sekarang dia juga masih belum menghubungiku.

Aku ingin pulang, tapi aku malu dan merasa bersalah. Aku memandangi cincin di jari manisku. Cincin pemberian Irsyad, entah emas asli atau tidak. Cincin pemberiannya dengan segudang filosofi khas anak sastranya sembari menahanku untuk tidak putus darinya beberapa bulan lalu.

"Kalo kita dikit-dikit putus, kapan dewasanya? Namanya hubungan pasti kan ada masalah. Kita harusnya saling menyesuaikan bukan malah putus gini," bujuknya dulu lalu mengeluarkan cincin dari tasnya dan aku luluh begitu saja.

Aku melupakan saat ia mengantar Salma pulang dan membiarkanku pulang naik ojek online. Aku melupakan saat ia tak memakan bekal buatanku dan malah membaginya dengan teman-teman anggota organisasinya. Menyakitkan, tapi selalu Irsyad punya cara untuk membujukku.

Dan seperti biasanya setiapkali aku sakit hati dan mencoba memperbaiki moodku. Aku selalu pergi ke Om Beni, sahabat Ayah. Sebelumnya aku tidak punya teman dekat, tapi 6 bulan terakhir sejak Om Beni pulang dari Australia aku kembali dekat padanya seperti dulu.

Om Beni mengijinkanku untuk mengintili kegiatannya, memberikanku tempat duduk yang sejajar dengannya, bahkan Om Beni kadang mau menungguku dan dengan bangga mengenalkanku pada teman-temannya. Om Beni jauh lebih baik dari Irsyad. Jauh... jauh sekali berkali-kali lipat. Sayang aku terlambat lahir buat ketemu Om Beni lebih awal.

Seperti sekarang Om Beni mempersilahkan aku untuk ikut ke acara seminar dosen dan duduk bersamanya. Om Beni juga mengajakku pulang lebih awal sebelum acara tanya jawab. Begitu berbeda dengan Irsyad yang akan berlama-lama entah sengaja atau tidak, entah dia tau atau tidak kalau aku tidak nyaman disana.

"Makasih Om," lirihku begitu Om Beni membukakan pintu mobil Rubiconnya.

Aku yakin siapapun yang menjadi pasangan Om Beni kelak pasti wanita yang paling beruntung. Om beni begitu hangat, manis, penyayang, gentleman, dan jelas sudah mapan. Soal dewasa tak usah di tanya lagi seberapa dewasa Om Beni yang seumuran dengan Ayah.

"Mau jajan es gak? Ada Mixue tuh, udah nyoba belum Kak?" tawarnya setelah lama diam atau lebih tepatnya aku yang melamun jadi tidak tau kalau Om Beni mengajakku bicara.

Aku menggeleng pelan lalu menatap Om Beni. Ada bekas jahitan di rahangnya, dulu katanya karena tawuran melawan Ayah. Tapi menurutku bekas jahitan itu tidak melunturkan ketampanan Om Beni yang makin terlihat maco dan kharismatik.

"Nanti aku cobanya ngajak Amar sama Abang aja," ucapku lalu kembali diam.

Om Beni mengangguk dan kembali fokus kejalan sementara aku memalingkan wajahku. Aku mulai mengagumi Om Beni lagi, kembali tidak tau diri seperti sebelum masuk playgroup dulu. Patah hati karena Om Beni yang melanjutkan studynya di Australia lalu mendapat kabar kalau Om Beni akan menikah saat SD.

Cinta pertama dan patah hati pertamaku, dari bocah bau bawang sampai bisa goreng bawang kayak sekarang. Tapi rasanya aku tetap terlalu terlambat datang untuk Om Beni, jarak umur 20 tahun. Oh ini sangat berat, dan sekarang saat Om Beni sendiri lagi setelah gagal atas kisah asmaranya yang kesekian kalinya. Aku tetap tak bisa bersamanya, ada hati yang harus ku jaga.

My Lover 🔞Where stories live. Discover now