Bab 41

3.5K 115 3
                                    

Rasanya hampa. Mail baru merasakan kekosongan luar biasa dalam dirinya sampai seperti ini. Sudah satu minggu rumah itu sepi. Mail tidak merasakan sambutan hangat dari Karina lagi ketika pulang kerja. Tidak ada godaan-godaan kecil dari gadis itu lagi untuk mencari perhatiannya. Tidak ada masakan enak yang dibuat oleh Karina. Tidak ada suara musik yang keras dari kamar gadis itu lagi saat Mail pulang kerja. Mail merasa sudah kehilangan separuh hidupnya. 

Dua hari setelah Karina pergi, ia menyusul ke rumah orang tuanya di Depok untuk membujuknya pulang. Namun, Karina tidak ingin menemui Mail. Orang tuanya hanya memberi pengertian agar Mail bersabar menghadapi Karina yang sedang marah besar. Hanya saja, ia takut ucapan Karina saat itu akan terjadi. 

"Den." Suara Bi Ratna mengejutkan Mail yang sedang melamun. Makanan yang disajikannya sejak setengah jam yang lalu belum juga disentuh oleh pria itu. "Makanannya gak dimakan lagi?" 

"Saya lagi gak nafsu makan, Bi." 

"Den Hardi harus makan, nanti kalau sakit gimana?" 

"Saya makan di kantor aja nanti." Mail beranjak dari duduknya, lalu berjalan tanpa semangat menuju keluar. 

Wanita itu menatap Mail penuh keprihatinan. Sejak Karina tidak ada, Mail seperti kehilangan semangat hidupnya. 

***

Karina duduk di meja makan setelah beberapa hari mengurung diri di kamar. Lia dan Gunawan saling bertatapan setelah melihat putrinya baru mau keluar kamar. Mereka merasa lega. Namun, Karina tidak berkata apa pun selama mereka makan. 

"Karin, Papa mau bicara sama kamu." Gunawan segera berkata sebelum Karina meninggalkan ruangan itu.

Karina hanya mengangguk tanpa menyahut. 

"Kamu mau sampai kapan begini? Kamu gak mungkin terus-terusan mendiamkan masalah ini. Ini memang rumah tangga kamu. Papa sama Mama gak bisa ikut campur terlalu jauh, tapi kami khawatir lihat kamu begini. Tindakan kamu meninggalkan rumah tanpa persetujuan suami kamu juga gak baik."

Karina tidak menjawab. Lalu, ia berkata setelah beberapa menit diam. "Karina mau cerai, Pa."

"Karin," timpal Lia cepat. "Kamu gak boleh asal ambil keputusan begitu aja."

"Kalau Mama ada di posisi Karin sekarang, apa yang akan Mama lakukan?" Karina menatap Lia. "Apa yang akan Mama lakukan kalau lihat Papa selingkuh?" 

Lia dan Gunawan saling bertatapan sesaat. 

"Kalau sekiranya itu yang kamu mau, Papa gak akan memaksa kamu terus lanjut. Tapi Papa berharap, kamu akan berubah pikiran." Gunawan berdiri, lalu meninggalkan ruangan itu. 

Lia beralih tempat duduk ke samping Karina. Ia merangkul putrinya yang sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja sekarang. 

"Gak apa-apa kan, Ma, kalau Karin mutusin buat cerai?" Karina berusaha untuk menahan tangisnya yang entah sudah ke berapa kali. 

Lia menatap putrinya penuh haru. "Enggak apa-apa. Selama itu membuat kamu bahagia. Mama mau kamu bahagia, Karin." Lia menyeka air mata putrinya yang sudah luruh. Ia pun ikut menangis melihat putrinya sedih seperti ini. "Maafin Mama karena udah jodohin kamu dulu." Lia memeluk Karina. 

Karina tidak menyalahkan perjodohan itu sama sekali. Mungkin jalan hidupnya memang harus seperti ini. 

Sementara itu, Mail siang ini sedang mengadakan pertemuan dengan para divisinya. Namun, ia tidak terlalu fokus karena merasakan sakit kepala yang luar biasa. Padahal, ia sedang mempresentasikan projek mereka selanjutnya. Mail mencoba untuk bertahan sampai pertemuan itu selesai. Tangannya ia tumpukan pada meja agar tidak terjatuh.

Mengejar Cinta Bang MailWhere stories live. Discover now