˚₊· ͟͟͞͞➳ 𝚃𝚠𝚎𝚗𝚝𝚢

2.3K 318 46
                                    

..⃗.  [ 𝙷𝚊𝚙𝚙𝚢 𝚁𝚎𝚊𝚍𝚒𝚗𝚐 ] 𑁍ࠜೄ ・゚ˊˎ

Suara ricuh tak dapat terhindar dikala brangkar yang menjadi tempat seorang gadis terbaring disana. Beberapa petugas beberapa kali berteriak untuk meminta kepada para penghuni bangunan dengan bau obat-obatan agar menyingkir, memberikan jalan.

Di arah belakang, sesosok laki-laki berlari untuk menyusul. Walau tertatih, ia sebisa mungkin memacu kakinya.

"Tuhan..." Ia bergumam dengan suara yang bergetar.

Kakinya masih setia terpacu. Matanya terpejam sesaat dan ingatan beberapa menit yang lalu kembali teringat.

Di benaknya hanya tergambar bagaimana (Name), adiknya, yang dipenuhi oleh darah kental dan pekat. Juga, seulas senyuman tipis di tengah-tengah rasa sakit yang luar biasa.

Sekon kemudian tapaknya berhenti di depan pintu unit gawat darurat. Pintu itu tertutup dan membatasinya. Mulai dari sini, ia hanya bisa menunggu.

Dengan lemah kakinya melangkah mendekati kursi besi. Ia duduk lalu meringis merasakan rasa dingin dan perih di tangannya. Lalu iris hijau lautnya melirik lengan dan telapak tangannya yang disana terdapat sebuah goresan yang mengeluarkan darah.

Sejak kapan itu ada di sana?

"Tuhan..." Lagi, mulutnya berucap begitu. Kini dua tangannya saling menggenggam dengan erat dan melayang di depan wajahnya.

Mulutnya kemudian mulai merapalkan berbagai doa demi keselamatan sang adik.

"Jangan mengambilnya sekarang, tuhan..."

Rin tahu ia memang tak pantas berkata demikian usai menyakiti adiknya selama bertahun-tahun. Tapi di satu saat, ia dapat menyadari sesuatu bahwa yang dilakukan olehnya adalah hal yang begitu menyedihkan dalam hubungan kekeluargaan.

Di satu waktu, ia menemukan sebuah catatan masa kecil seorang Itoshi (Name). Kala itu ia tengah beberes di kamarnya dan tak sengaja menemukan buku kecil yang sudah berdebu di dalam sebuah lemari.

Dikala ia membuka tiap-tiap halaman yang usang, matanya selalu mendapati rentetan huruf yang tertulis tak beraturan namun masih bisa ia baca.

Ingin rasanya ia memutar waktu untuk menyayangi kembarannya itu dari sejak lahir usai membaca buku kecil tentang seorang (Name). Namun ia sadari, waktu yang telah berlalu tak lagi dapat terulang. Hanya tersisa masa depan yang selalu ia langkahi dan ia jemput di tiap harinya.

"Maaf tuhan... Maaf..."

Bulir-bulir bening perlahan keluar dari pelupuk matanya. Mengiringi tiap-tiap doa yang ia rapalkan. Dua tangannya yang terkepal erat itu bergetar. Nafasnya terengah karena berusaha berucap permintaan kepada sang kuasa.

"Anda bagian keluarga dari pasien bernama Itoshi (Name)?" Sontak suara itu membuatnya membuka mata.

Irisnya memicing sesaat, mencerna ucapan dari wanita bersetelan hijau agak tua yang berdiri di depannya.

"I-iya, s-saya kakaknya," jawabnya. Terbesit sebuah pemikiran tak mengenakkan dikala melihat sosok tersebut.

"Pasien mengalami pendarahan yang hebat dan kemungkinan besar membutuhkan pend–"

"Ambil saja darah saya. Saya siap mendonorkan darah saya untuknya."

Mulutnya entah kenapa berbicara begitu tanpa perintah. Ia refleks mengucapkannya. Ia akui untuk sekarang ia begitu takut kehilangan seorang (Name).

𝐄𝐜𝐜𝐞𝐝𝐞𝐧𝐭𝐞𝐬𝐢𝐚𝐬𝐭 : 𝐈𝐭𝐨𝐬𝐡𝐢 𝐁𝐫𝐨𝐭𝐡𝐞𝐫𝐬 [ 𝐄𝐍𝐃 ]Where stories live. Discover now