04

361 89 7
                                    

Kalian pasti bingung, kenapa Kaila suka Weda yang bahkan tidak se-humble Davin, tidak sehumoris Arya, tidak seromantis Favian, tidak juga setampan Candra.

Weda hanya se-kaku—kalian tahu kanebo kering, nah, ya, itu.

Kaila juga bingung, kenapa bisa, di antara puluhan laki-laki yang terang-terangan mendekatinya, Weda harus jadi alasan Kaila menepis mereka semua.

"Berapa Bang?"

"Satuin apa sendiri-sendiri?"

"Gue bayar sendiri aja."

"Satuin aja."

Mungkin karena Weda dermawan?

"Nih, kembaliannya delapan puluh. Tadi Ibu lo transfer uang ke gue seratus."

Tapi, ternyata tidak juga. Kaila mengambil lelembaran uang di atas meja dengan ekspresi agak lesu. Sampai sekarang, Kaila masih bingung apa yang ia sukai dari seorang Weda.

"Jangan dipake jajan yang macem-macem!"

Mungkin karena Weda kerap memberi nasihat? Tidak juga. Nasihat Weda adalah untuk siapa saja, bukan cuma Kaila.

Dua mahasiswa itu berjalan menyisir trotoar. Weda di depan, Kaila di belakang. Tidak ada sejarahnya, Weda yang biasa jalan cepat itu mau berusaha berjalan pelan agar dapar bersanding dengan manusia lelet macam Kaila.

Jadi, aneh alias tak biasa, saat di mana Weda berhenti melangkah, menoleh ke belakang, memandang Kaila seolah-olah menunggui perempuan itu.

Kaila mempercepat langkah, sedikit berlari karena takut, tapi taunya Weda malah—

"Panas-panas gini, jajan es krim enak kali ya."

[]

METANOIA [END]Where stories live. Discover now