09

374 87 35
                                    

Hari Jumat sore menjelang petang, Kaila temukan Weda duduk di lobi fakultasnya. Padahal, Kaila sudah berpesan beberapa jam lalu, agar Weda pulang duluan saja karena ia masih harus ikut kelas pengganti.

"Nggak apa-apa. Lagian di luar ujan."

Demikian ucap Weda, kala Kaila menghampiri, mengucap lagi apa yang ia katakan dalam pesan singkatnya. Ngomong-ngomong, sejak hari di mana motor Kaila hilang—yang mana itu berarti sudah hampir satu minggu—ruang chat Kaila dengan Weda tidak lagi kosong.

Meski kebanyakan dari isi chat Weda hanya seputar gue otw; gue udah di depan; selesai kelas jam berapa; mau pulang kapan; gue udah di rumah.

Sementara kebanyakan balasan Kaila adalah oke; ati-ati di jalan; jangan ngebut-ngebu; ibu nyuruh kamu ikut sarapan; kalau udah sampe rumah kabarin; lo pulang duluan aja, gue ada kelas pengganti disertai emot-emot yang menurut Kaila lucu.

Sebagai informasi, ini bukan yang pertama kali, Weda sudi menanti. Kaila cukup terheran juga tidak enak hati, tapi kalau laki-laki itu memang mau, ya, apa boleh buat.

Di luar memang sedang hujan. Kaila mengikuti jejak Weda, duduk di kursi panjang. Beberapa teman kelas Kaila yang hendak pulang sempat menyapa, tak jarang dari mereka bertanya tanpa suara, "Pacar?"

Kaila cuma tersenyum, menggeleng. Yang mana tak luput dari perhatian Weda, meski laki-laki itu terlihat sibuk dengan ponselnya. Kaila pun mencoba menyibukan diri dengan hal yang sama, tetapi itu hanya berlangsung dalam beberapa saat.

Sebuah kantung plastik menyita perhatian Kaila, berikut sorot mata perempuan itu hinggap pada Weda.

Weda yang meletakkan kantung plastik berisi dua bungkus permen jeli di pangkuan Kaila. Lantas, bagaimana bisa senyuman Kaila tidak timbul setelahnya? Coba katakan bagaimana agar Kaila bisa bersikap biasa-biasa saja ketika ada yang tidak bisa dengan Weda?

"Makasih, hehe."

Tidak ada balasan. Namun, ada sititik senyum Weda yang tak diketahui Kaila sebab perempuan itu sibuk membuka bungkusan di tangannya dengan antusias.

"Suka nonton film nggak?"

Kaila menggangguk. Semua orang pasti suka, Kaila rasa.

"Kamu suka?"

Kecuali Weda, karena laki-laki itu menggeleng usai ditanya. Tak masalah. Toh, Kaila cuma mau tahu, bukan mau mengajak Weda nonton bersama. Yang jadi masalah adalah—

"Besok kalo lo ada waktu, nonton bareng gue, mau?"

Mengapa? Padahal, dia tadi bilang tidak suka.

Sudah tahu aneh, tololnya, Kaila cuma bisa mengangguk.

"Boleh."

Kalian tahu setelahnya apa? Iya, Kaila semangat sekali menanti menanti tiba sabtu malam, memilah pakaian dan alas kaki mana yang paling cocok untuk dikenakan, memikirkan gaya rambut bagaimana kira-kira yang cantik tapi tidak berlebihan.

Kaila sudah siap, satu jam sebelum waktu janjian. Weda datang menjemput tepat pukul delapan. Bioskop terdekat jadi tujuan. Film Jalan yang Jauh, Jangan Lupa Pulang jadi pilihan.

Sepuluh menit pertama film diputar, baik Kaila maupun Weda fokus menatap layar. Sepuluh menit berikutnya, atensi Kaila kadang berpindah pada Weda, kadang juga sebaliknya. Sekali waktu, mata mereka bertemu.

"Lo suka gue, Kai?"

Sepuluh menit terakhir film diputar, ada yang mendistraksi atensi Kaila secara utuh. Mata perempuan itu sepenuhnya jatuh pada Weda. Jiwa Kaila seperti dipaksa meninggalkan raganya, seperti ini hanya mimpi belaka, debar-debar berlebihan di dada, napas yang berhamburan tanpa kontrol sempurna, dan lisan yang tak sanggup bicara barang sekata.

Kaila hanya terpaku menatap Weda di tengah gulita. Dan, cahaya dari layar bioskop meyakinkan Kaila bahwa ada sepasang mata yang juga menatapnya.

Apa ini artinya, penantian panjang Kaila akhirnya bertepi?

Apa ini artinya, perasaan terpendam Kaila akhirnya bersambut?

Apa ini artinya, setelah sekian lama, hati Weda terbuka untuk Kaila?

Weda mempertanyakan persoalan yang sudah kelas jawabannya. Tetapi untuk memperjelas apa yang mungkin masih kurang jelas bagi Weda, Kaila menganggukkan kepala. Barangkali itu juga masih kurang jelas, Kaila perjelas lagi lewat kata.

"Iya, gue suka lo, Weda."

Tautan mata dua manusia terputus. Layar kembali menjadi pusat pandang mereka.

Yang bertaut berikutnya adalah sepasang tangan. Kaila menoleh kepada pihak yang mengadakan genggaman tanpa seijinnya. Namun, dari bibir Kaila tidak juga meluncur tanya.

Padahal, tindakan Weda, sepanjang sisa durasi film, butuh dipertanyakan.

[]

METANOIA [END]Where stories live. Discover now