07

389 99 21
                                    

"Kai, di mana?"

"Di kampus."

"Hah? Masih di kampus?"

Iya, Kaila masih di kampus, masih duduk di bebatuan dekat parkiran saat Weda menelpon. Bergumul bersama jajaran para nyamuk dan kesedusedanan lantaran—

"Hm. Motor gue ilang. Nggak bisa pulang."

"Belum ketemu sampe sekarang?"

"Belum, Weda! Kalo udah, gue pasti udah rebahan di rumah."

"Ya udah gue bantu broadcast ke anak-anak, siapa tahu ada yang liat. Berapa nomor plat-nya?"

Kaki Kaila menendang-nendang kerikil. Bibirnya mengerucut sebal. Ia capek, ingin rebahan, tapi dunia malah sebegitu picik melimpahinya dengan suatu permasalahan yang Kaila bahkan tidak bisa memikirkan satupun tindakan selain duduk seperti orang tolol.

"Broadcast doang?"

Nada bicara Kaila sudah gemetaran. Ia ingin menangis, rasanya.

"Terus lo mau gue ngapain lagi?"

Sekarang bukan ingin lagi, tapi Kaila sudah menangis.

"Gue pengen pulang."

Tiada tanggapan.

"Gue capek. Mau pulang."

Kaila usap derai air mata yang menganak. Namun, seberapa kali pun hal itu dilakukan, pipinya tetap berakhir basah. Manusia di seberang sana tetap mengheningkan cipta. Padahal, isak tangis Kaila kala itu benar-benar nyata.

Kalau sudah demikian, Kaila tidak punya harapan apa-apa. Panggilan ditutup. Tangan lesunya menurunkan ponsel, menatap informasi durasi panggilan juga obrolan pesan yang kosong. Ngomong-ngomong, Kaila memang tidak pernah berkirim pesan dengan Weda, ini adalah panggilan suara pertama mereka dan mungkin juga terakhir.

BEM angkatannya sebentar lagi purna tugas. Dengar-dengar juga, Weda tidak akan lanjut mengemban tugas dengan alasan fokus menyelesaikan studi. Sudah sejauh ini, sudah empat semester lamanya mereka berada di dalam organisasi yang sama, bekerja sama-sama, tapi perasaan Kaila tidak kunjung menuai tanda-tanda bersambut juga.

Apa sebaiknya Kaila menyerah saja? Menyerah yang betulan menyerah.

"Kaila!!!"

Tapi mengapa selalu seperti ini?

Selalu, ketika Kaila berpikir untuk menyerah, dunia dengan sengaja menyeret laki-laki ini padanya. Bibir Kaila bergetar.

Selain motor yang hilang, Kaila benar-benar sudah muak dengan tingkah Weda yang kadang terlihat sangat perduli, kadang tidak sama sekali, kadang seperti sangat memperhatikan, kadang juga seperti manusia asing.

Kalau kalian mau tahu, Kaila sudah pendam perasaan suka itu jauh-jauh hari, sejak hari pertama menjabat sebagai sekretaris BEM, sejak kali pertama mendengarkan pemaparan Weda mengenai program kerja. Weda tidak bicara sebanyak Favian, si ketua, tetapi cara Weda bicara menurut Kaila punya kharisma berbeda.

Mungkin karena Weda adalah mahasiswa Hubungan Internasional. Mungkin juga bukan cuma Kaila yang berpikir demikian, mungkin bukan cuma Kaila yang memendam kekaguman, sehingga Weda perlu banyak waktu untuk mempertimbangkan dan akhirnya menyatakan tidak pada Kaila.

Memang bukan dengan bicara, tapi dengan Weda bersikap biasa-biasa saja, setelah silih berganti kabar berita Kaila menyukainya, sudah cukup menjadi bukti bahwa Kaila tidak cukup menarik di mata Weda. Ditambah lagi kenyataan bahwa di antara seluruh anggota BEM, cuma Kaila yang tidak pernah di-kontak Weda.

Persetan dengan kehadiran Weda yang sekarang berdiri di depannya, Kaila cuma ingin menangis saja. Weda tidak akan menganggap Kaila sakit jiwa karena menangis sesegukan di tempat terbuka. Weda akan berpikir Kaila menangisi motornya, dan bukannya nasib malang menjadi pecinta seorang Weda.

"Udah nangisnya?"

Kaila mengangguk. Cukup lama ia buat Weda menunggu. Kira-kira lima belas menit laki-laki itu diam, berjongkok di sebelah Kaila.

"Mau pulang?"

Kaila mengangguk lagi. Weda bangkit. "Ayo gue anterin!"

Lalu, Kaila menggeleng. "Takut."

"Takut orang tua lo marah?"

Mengangguk lagi. Terisak lagi. Weda cuma bisa menghela napas.

"Udah nggak usah takut. Gue yang bakal ngomong. Gue yang bakal tanggungjawab."

Atas dasar apa laki-laki ini bisa bicara begitu? Motor Kaila yang hilang bahkan tidak ada sangkut pautnya dengan Weda. Bagaimana bisa, Weda berpikir akan tanggungjawab?

Atas dasar apa laki-laki ini bisa sekonyong-konyong mencomot lengan Kaila, menarik Kaila agar segera beranjak, membawa Kaila menuju motornya tanpa melepas genggaman tangan?

Kaila masih sangat tidak bisa memahami itu. Namun, ketimbang berpikir mengenai rumit pemikiran Weda yang tak pernah bisa ia pahami dengan akalnya, Kaila lebih memilih berpikir mengenai bagaimana cara agar bisa menjadi biasa-biasa saja.

Meski Weda sukarela memakaikannya helm, meski Weda sukarela menyeka sisa air matanya, Kaila tidak boleh terkalahkan oleh perasaan sebab ia dalam usaha untuk menyerah. Benar, ternyata menyerah saja butuh usaha. Di dunia seorang Kaila, memang tidak ada yang namanya serba mudah.

"Mau pake jaket?"

Kaila menggeleng. Namun sekali lagi, di dunia seorang Kaila, tidak ada yang namanya serba mudah. Menolak saja susah. Apalagi jika yang memberi adalah Weda.

"Pake, ya. Dingin soalnya."

Apalagi jika cara bicara Weda sedemikian lembutnya. Dan, Kaila tidak punya pilihan selain menerima.

Mesin motor dinyalakan. Weda turunkan footstep motor sehingga Kaila bisa langsung naik menumpangi jok belakang. Kaila tidak meminta ijin pada Weda untuk berpegang pada ujung-ujung kemeja laki-laki itu. Dan, Weda juga tidak memberikan tanda-tanda keberatan atau protes dalam bentuk apa pun.

Tidak ada satu dasarpun yang membenarkan Kaila menyandarkan kepala pada punggung Weda. Sang pemilik punggung boleh saja mengajukan peringatan, tapi sepanjang perjalanan, telinga Kaila tidak mendengar apa-apa kecuali suara kendaraan.

Tiba di rumah. Kedatangan Kaila jelas disambut panik bapak dan ibunya. Ditambah lagi Kaila diantar pulang oleh seorang laki-laki sebegini larut. Namun, Weda dengan keahlian bertutur kata setara Hotman Paris Hutapea berhasil meredakan kepanikan mereka.

Weda sudah mengucap janji akan menjemput dan mengantar Kaila selama motor Kaila dalam proses pencarian. Itu sebagai bentuk pertanggungjawaban seorang Ketua Panitia, katanya, yang mana diucap tanpa kompromi dengan Kaila.

Weda pamit. Kaila mengantar hingga ke depan gerbang rumah.

"Besok kelas jam berapa?"

"Jam tujuh."

"Sama berarti. Setengah tujuh udah siap, ya!"

"Nggak usah jemput! Gue bisa naik ojek."

"Tadi lo denger omongan gue sama bapak lo, kan?"

Kaila mendengus. Tapi sedikit senang.

Weda sudah duduk di atas motornya. Sudah mengenakan helm. Mesin motor juga sudah dinyalakan. Tinggal pulang yang belum.

"Weda makasih."

Suara motor Weda cukup bising. Antara Weda memang tak mendengar ucapan Kaila atau pura-pura tidak dengar, Kaila tidak tahu.

"Bawa motornya pelan-pelan."

Baru yang kali ini, Weda menoleh, memandang Kaila tak sebentar, sampai-sampai yang dipandang jadi agak gemetaran.

"Tidur sana! Besok jam enam harus udah siap!"

Mata Kaila melotot. "Tadi katanya jam setengah tujuh."

Hening.

Hening.

Hening.

"Emang nggak pengen cepet-cepet ketemu sama gue?"

[]

METANOIA [END]Where stories live. Discover now