06

371 84 20
                                    

Sepanjang sisa acara, malu ditanggung Kaila akibat mulutnya yang sulit dijaga. Salah siapa menyimpan suka terlalu berlebihan kepada makhluk tidak peka macam Weda.

Bahkan setelah pujian gamblang Kaila di depan semua panitia acara, Weda masih bisa bersikap seperti tidak pernah mendengar apa-apa.

Kaila tidak terlalu mempermasalahkan reaksi rekan-rekannya yang lain, karena godaan sudah seringkali Kaila dengar dari mereka, kerena satu-satunya yang menutup mata juga telinga akan perasaan Kaila hanya Weda.

Kaila yakin, Weda juga sebenarnya sudah tahu, meski Kaila tidak pernah memberi tahu. Namun, satu hal yang perlu kalian tahu, sesungguhnya Weda bukan tidak peka, tetapi mungkin memang bukan Kaila yang Weda mau.

Acara selesai pukul empat sore. Kaila bersama divisi PDD yang lain masih bertahan di dalam aula, membereskan dekorasi dan kursi-kursi sampai pukul enam. Selanjutnya, kegiatan evaluasi dilangsungkan di ruang panitia.

Kaila memilih duduk di samping Davin, sebab di samping Weda sudah diisi Adinda—kalau kosong pun Kaila enggan menempatinya.

Sekarang waktunya pulang. Kaila mampir dulu ke ruang sekretariat BEM untuk mengembalikan beberapa barang acara sekaligus mengambil barang-barangnya. Weda ditemukan Kaila di sana, sedang duduk di sebuah kursi, mengenakan sepatu.

Anehnya, Weda juga masih ditemukan Kaila di posisi yang sama, meski sudah selesai mengenakan sepatu. Kalau begini ceritanya, Kaila harus pakai sepatu di mana sedangkan posisi di mana Weda berada adalah posisi yang memang didedikasikan untuk itu?

Apa boleh buat. Kaila akhirnya meluarkan sepasang sendal jepit, memasukkan sepatunya ke dalam kantung plastik dan menenteng itu sambil berjalan meninggalkan sekre dan Weda yang entah menunggu apa.

"Pulang sama siapa?"

Kaila terlonjak. Ada sosok menjulang berjalan di sebelahnya sekarang.

"Sendiri. Gue bawa motor."

Weda hanya ber-oh saja.

"Rumah lo belum pindah, kan?"

Kaila mengangguk. Mereka berpisah saat sampai di parkiran kampus, mencari motor masing-masing. Weda sudah temukan motornya, tapi Kaila belum. Weda sudah menyalakan mesin motornya, tapi Kaila masih celingak-celingak kebingungan.

"Kenapa?"

Kaila tak mengaku saat ditanya Weda di ujung sana. "Nggak apa-apa."

Padahal kalau dipikir-pikir, masalah Kaila sekarang terbilang serius.

"Kalau nggak apa-apa kenapa masih di situ?"

"Nggak usah ditungguin, lo balik duluan aja."

"Serius?"

"Iya, udah sana balik."

Motor Weda bersama sang pemilik melewati Kaila, menjauh, lalu menghilang. Dan, sampai lewat petang, Kaila masih belum menemukan miliknya. Kaila sudah koar di grup anak-anak BEM, tapi semua anggota bilang gue nggak liat. Kaila sudah lapor Pak Satpam tapi belum ada tindakan yang menghasilkan. Pak Satpam sama bingungnya dengan Kaila.

Kampus sudah sepi. Bagaimana tidak, ini pukul sebelas malam. Dan, besok adalah akhir pekan. Teman-teman Kaila kebanyakan pulang kampung, lagipula, Kaila takut pulang. Takut dimarahin Bapak dan Ibu kalau mengaku motornya hilang.

Sampai tiba-tiba—

Pradipta Wedakusuma memanggil ....

[]

METANOIA [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora