19:30

35 27 0
                                    

Gudang lama.

Suatu hari, saat mentari sama sekali tak menampakkan diri seharian, udara dingin memeluk, dan suara hujan menjadi irama sendu. Kutapaki jalan lama yang sudah berdebu dan ditumbuhi rumput liar di mana-mana. Jalanan itu gelap sekali, aku berjalan dengan hati-hati karena ada pecahan beling berserakan. Tujuanku adalah sebuah gudang lama. Tempat yang lama kukunci, kutinggalkan lalu entah sejak kapan aku mulai melupakannya.

Pintunya masih utuh, tapi debunya nampak tebal. Kubuka gembok yang berkarat, lalu aku masuk dan langsung terbatuk-batuk. Debunya benar-benar membuatku sesak nafas. Kunyalakan satu-satunya lampu yang tersisa di ruangan ini. Kini semuanya nampak jelas. Lemari-lemari yang terkunci rapat, kardus-kardus yang tertata rapi, figura di dinding yang hanya menyisakan tempatnya saja--fotonya entah ke mana.

Perlahan kudekati tumpukan kardus yang berada di pojok ruangan, tempat yang tak terjangkau cahaya. Kuambil satu per satu dan kubawa ke bawah lampu. Masih tertutup rapat karena dikekang tali dan lakban.

Ada sebuah kardus berwarna hitam pekat, terdapat satu tulisan kecil di ujung bawah, "Noda." Aku tak paham. Kuingat-ingat lagi, apa maksudnya, jelas itu tulisanku, tapi aku bahkan tak mengingatnya. Kubuka kardus hitam yang berat saat kuseret itu. Tanpa aba-aba, dadaku mendadak nyeri dan sesak, tanpa bisa kubendung air mataku terjun bebas dengan deras. Padahal aku baru membukanya, belum menyentuh isinya sama sekali. Isi di dalamnya bermacam-macam. Banyak jelaga dan abu-abu sisa pembakaran. Kelam sekali. Aku mengambil sebuah potret yang terselip di sebuah diary tebal, saat kutatap mata gadis kecil dalam foto itu, hatiku terasa seperti ditombak dari berbagai arah. Sungguh, amat menyakitkan saat melihat senyuman ceria gadis kecil dalam foto itu. Aku tak mampu.

Aku bergeser, mendekati kardus lainnya. Kardus berwarna abu-abu, di ujung bawah terdapat tulisan yang ternoda bercak darah, "Kelabu." Hanya ada tulisan itu. Saat aku membuka, hal yang pertama kali aku lihat adalah origami burung yang berjumlah cukup banyak dan berwarna-warni. Di setiap origami, terdapat satu kata di masing-masing sayap. Aku tertegun saat melihat sebuah origami yang sayapnya patah, dan ternyata tak hanya satu. Sayap-sayap patah itu berisi tulisan-tulisan yang dibubuhi tanda hati retak.
"Dream."
"Life."
"Sky."
"Love."
"Lie." Dan ada satu yang paling menyita perhatianku, tulisannya, "Lenyap."

Entahlah, aku tak paham ini apa.

Aku beringsut meraih kardus berwarna merah muda. Di ujungnya tertulis, "Merah muda." Disertai gambar hati bersayap kecil. Saat menyentuh isinya, hatiku dilingkupi perasaan bahagia yang membuncah, seolah ada hal yang menggembirakan, senyumku terbit tiba-tiba. Isi di dalamnya berwarna-warni sekali, kardusnya bahkan diwarnai dengan warna merah muda, merah, dan biru. Terdapat beberapa buku, boneka kecil, origami, hingga sebuah kalung. Aku seolah disihir, mataku tak mau beranjak dari isi kardus ini. Saat kubuka sebuah diary berwarna biru langit, burung-burung beterbangan dan kupu-kupu hinggap di tubuhku. Pelangi menaungiku, kicau-kicau burung membuatku terlena. Kardus ini harus kusimpan baik-baik, agar dapat sering aku lihat lagi.

Aku berdiri. Saat kuperhatikan ulang, hanya ada dua kardus berwarna cerah. Merah muda serta biru. Yang lainnya terkesan kelam. Hitam pekat, abu-abu, cokelat tua, bahkan ada yang transparan dan isinya nampak kosong, hampa sekali.

Aku memilih menjauhi kardus-kardus yang sekarang berserakan. Aku berjalan sambil terus menatap lemari yang kacanya pecah di beberapa bagian. Terdapat banyak barang dan benda yang anehnya tak ada yang utuh. Ada yang tergores, bekas terbakar separuh, tersobek, bahkan ada yang dipenuhi noda darah. Saat aku sudah di depan lemari itu, dadaku benar-benar nyeri melebihi efek kardus hitam pekat. Mataku memburam, kepalaku diserang rasa pusing yang tak ku ketahui darimana asalnya. Kakiku limbung, saat tanganku tak sengaja menyentuh kaca yang retak, aku hilang keseimbangan dan jatuh tersungkur.

Aku terbangun dari tidurku dengan keringat yang bercucuran, kepalaku pening dan dadaku sesak, aku merasa amat lemas, hingga kembali terjatuh ke kasurku yang sangat lembab. Aku tak lagi mendengar suara hujan, kupejamkan mataku beberapa detik, lalu aku kembali duduk. Saat aku kembali melihat sekeliling, aku melihat pantulan diriku di cermin yang terdapat pada lemari.

Wajahku pucat, dan entah kenapa, pakaianku basah serta tanganku penuh darah.

--renjanalara

1-09-2023

Renjana Lara [ Slow Update ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang