6. Lukamu Lukaku (1)

23 5 8
                                    

"Pindah sekolah?" Pradipta menggeleng kepala seraya tertawa kecil pada adik perempuannya itu. "San, San. Kita makan aja susah, gak usah sok sokan mau pindah sekolah."

"Kak Dipta sih ngga ngerasain rasanya sekolah disana," bantah Sanya.

"Kenapa emangnya? Ada masalah? Siapa yang gangguin kamu? Bilang sama kak Dipta."

Sanya hanya menggeleng kepala lesu, tidak mungkin ia bercerita kepada kakak laki-lakinya jika di sekolah sering kali Sanya di bully.

Dan lebih parahnya lagi yang mem-bully Sanya adalah salah satu teman tongkrongan Pradipta yang bernama Aryan—satu angkatan dengan Sanya.

Naasnya Pradipta tak mengetahui hal itu.

"Terus kenapa mau pindah sekolah? Pasti ada sesuatu," terka Pradipta.

"Gak ada, udah ah lupain. Percuma juga aku mau ini itu tapi gak bakal keturutan. Papa kan udah miskin!" Ucapan Sanya membuat Pradipta tak trima dan sedikit marah karena menjelekan nama sang ayah.

"Sanya!" tegur Pradipta, karena ucapan Sanya sudah keterlaluan.

"Kenapa? Emang bener kan? Aku juga kepengen kak, kayak temen-temenku menikmati masa mudanya tanpa memikirkan ekonomi keluarga. Pengen beli ini itu gak pakai mikir!" Sanya mengeluarkan uneg-unegnya.

Pradipta mengeluarkan nafasnya sabar sabar menghadapi si adek perempuan yang banyak maunya tak mau mensyukuri apa yang ada.

Ini memang tugas Pradipta sebagai anak pertama atau panutan untuk  menasihati sang adek agar perlahan mau menerima keadaan ekonomi keluarga mereka.

"San, kita hidup enak bahkan hampir berlebihan udah pernah kita rasain. Sekarang keluarga kita ekonominya di uji lagi dari nol. Dan kamu siap gak siap mau gak mau harus terima," nasehat Pradipta dengan suara yang pelan.

Sanya mengeluarkan nafasnya dengan kasar masih tak trima dengan semua ini. "Tapi kapan ekonomi keluarga kita balik lagi kayak dulu, kak? Aku capek pengen ini itu tapi harus ditahan demi yang lebih di butuhkan."

"Sabar ya, San? Oke deh nanti mau gak ikut kak Dipta ke pasar malam buat beli sosis bakar?" Pradipta mencoba untuk mengalihkan pembicaraan mengenai ekonomi keluarganya, dan lebih memilih untuk memanjakan Sanya agar tidak berlarut-larut dalam kesedihan.

Mata Sanya berbinar-binar senang tak karuan mendengar ajakan si kakak. "Mau kak, tapi nanti ya abis ngerjain tugas."

Pradipta mengangguk, lalu berdiri dari duduknya di kursi kayu itu seraya membawa gitarnya. "Yaudah sana mandi, bau bangetttttt," goda Pradipta pada si adek perempuan.

"Kak Diptaaaa!!" Sanya ingin memukul pundak Pradipta, tapi lebih dulu Pradipta masuk kamarnya lalu mengunci agar Sanya tak dapat masuk.

••••

Singkatnya Pradipta dan juga Sanya sudah kembali ke rumah sehabis dari pasar malam membeli jajanan yang Sanya inginkan.

Begitu pintu rumah di buka oleh Pradipta, Mereke berdua terkejut melihat ayahnya berdiri di depan Sanya dan Pradipta dengan tatapan tajam, lebih tepatnya tatapan tajam itu untuk Pradipta.

"Jam segini baru pulang! Kamu kalau mau nakal jangan ajak-ajak adikmu!" bentak Teguh—ayah Sanya dan juga Pradipta.

"Dipta cuma ngajak Sanya ke pasar malam buat beli jajan, Pa," jawab Pradipta sedikit takut. Papanya itu sering marah padanya semenjak kebangkrutan itu, Pradipta sering kali jadi sasaran amukan Teguh.

"Jajan terus! Ingat ekonomi keluarga kita itu lagi hancur seharusnya kamu itu bisa ajarin adek kamu buat hemat, nggak jajan jajan terus! Dasar anak gak berguna!" Ucapan Teguh semakin menusuk ulu hati Pradipta.

"Yang ngajak jajan itu Sanya Pa, jadi marahin aja Sanya," ucap Sanya membela kakaknya. Padahal kan yang mengajak Sanya pergi membeli jajan Pradipta.

Papanya itu sering kali membesar besarkan masalah sepele, tak mau menasihati anaknya secara baik-baik. Yah, Papanya menjadi seperti itu semenjak usahanya bangkrut. Teguh jadi stress dan sering marah marah tak jelas.

Pradipta, Sanya, dan juga sang ibu hanya bisa mengalah dan juga menjaga dari sifat amarah Teguh. Ntah sampai kapan akan seperti ini terus? Akankah keluarga Sanya berubah seperti dahulu lagi secara baik-baik?

"Kamu diam, Sanya! Papa sedang menegur kakakmu yang tidak bisa jadi panutan buat adeknya. Dasar tidak. Berguna!" Teguh semakin menatap tajam mata Pradipta. Ntah kenapa setiap kali melihat Pradipta rasanya ia ingin marah marah terus.

"Dipta emang gak berguna, Terus mau Papa apa?" tantang Pradipta, ia sudah lelah di perlakukan seperti ini oleh ayah kandungnya sendiri.

"Melawan kamu, hah?!" Teguh mencengkeram kerah baju milik Pradipta yang berwana hitam itu.

"Papa, jangan giniin kak Dipta," ucap Sanya penuh memohon, air matanya perlahan menetes ke pipi mulusnya.

"Papa..!" Dari arah dapur ada Ratih— ibu Sanya dan juga Pradipta, sedang berjalan menghampiri mereka bertiga.

"Apa-apaan ini?! Lepasin Pradipta! Dia anak kandung kamu, darah daging kamu sendiri!" Ratih menengahi suami dan anaknya.

"Argh!! Pergi kamu!" Teguh bertriak frustasi mengusir Pradipta.

"Baik, kalau itu maunya Papa. Dipta bakal pergi dari rumah ini." Dipta hendak melangkah menuju kamarnya untuk mengemasi pakaiannya termasuk seragam sekolah. Tapi lebih dulu Ratih mencekal lengan Dipta seolah mengisyaratkan jangan pergi.

Sanya menangis tak menyangka melihat keluarganya jadi seperti ini, ia mau keluarganya kembali damai seperti dulu.

"Gakpapa Ma, biar Papa tenang," ucap Pradipta masih sempat memberikan senyum manis pada ibunya, di saat hati Pradipta sedang sakit-sakitnya.

Begitu melihat Pradipta sudah mengendong tasnya yang berisikan pakaian, Sanya dan juga Ratih seketika menangis terdengar sangat keras.

"Kak Dipta, jangan pergi. Ini semua salah aku. Seharusnya aku gak ngeluh pengen pindah sekolah ke kak Dipta. Maaf." Sanya memegang tangan kanan Pradipta kuat kuat tak membiarkan kakaknya yang sangat baik itu pergi begitu saja.

"Jangan nak..." ucap Ratih dengan lirihnya.

"Pergi!" usir Teguh semakin membentak Pradipta.

Pradipta dengan berat hati melangkah keluar pergi meninggalkan rumahnya itu.

Sanya dan Ratih ingin keluar rumah tetapi pintu sudah lebih dulu di kunci oleh Teguh, dan kunci itu berada di saku baju milik Teguh.

"Papa jahat!" Sanya bertriak murka di depan Papanya, lalu masuk kamar dan membanting pintu kamarnya.

Didalam kamar Sanya, ia menangis terisak-isak tak menyangka akan jadi seperti ini keluarganya. Sanya ikut hancur dengan kepergian Pradipta karena usiran dari sang Ayah.

Luka Pradipta adalah luka Sanya, luka Sanya adalah luka Pradipta. Begitupun kebahagiaan Sanya adalah kebahagiaan Pradipta juga, dan sebaliknya. Mereka adalah kakak adik yang saling menyayangi, tidak memiliki gengsi tinggi untuk mengungkapkan rasa sayang.

Bersambung....

Agak sedih author ngetiknya soalnya kasihan sama Pradipta 😭 wkwk.

Papa mereka keknya rada rada ga sih?

Jangan lupa vote 🌟

Follow ig: @storyandinidiaak

Pradipta Perfect Brother Where stories live. Discover now