Loka - 2

472 64 8
                                    

"Mama dan Papa tidak akan setuju dengan rencana perceraianmu dengan Jonathan !!!"


Raungan marah Nyonya Wisesa senior menggema di ruang tamu rumah Dinda. Wanita paruh baya dengan tatanan rambut tersanggul rapi dan setelan pakaian yang berkelas menatap tajam ke arah wanita berusia tiga puluhan yang duduk berhadapan dengannya.


"Aku tidak membutuhkan persetujuan Mama dan Papa untuk melakukan itu !!! Ini pernikahanku dan Kak Jo, kami yang berhak memutuskan kapan kami akan mengakhiri pernikahan bisnis ini !!!" balas Dinda.


"DINDA!! JAGA UCAPANMU !!!"


Dinda menarik napasnya panjang lalu menghembuskannya perlahan untuk menenangkan dirinya agar tak ikut tersulut emosi oleh sikap ibunya.


"Sudah ya Ma..... Kalau Mama masih mau membahas perceraianku dengan Kak Jo, lebih baik Mama pulang saja. Keputusanku sudah bulat, Ma.... Anak-anak juga akan pulang sebentar lagi. Aku tidak mau mereka semakin terluka karena pembahasan soal perceraian ini...."



"Justru itu.... Mama ingin anak-anakmu supaya mendengar semua ini. Mama ingin supaya mereka menasehatimu untuk tidak bertindak gegabah seperti ini. Sadarlah, Dinda.... Ini bukan hanya tentangmu saja! Keluarga kita akan hancur tanpa Keluarga Suh. Siapa yang akan mengurus semua perusahaan kita  kalau bukan Jonathan? Memangnya kamu bisa melakukannya? Selama ini yang kamu lakukan hanya sibuk berdonasi sana sini dan menghabiskan uang perusahaan. Kamu pikir darimana datangnya semua uang itu kalau bukan dari suamimu? Dari nama besar keluarga suamimu !"


"Kita bisa menyewa jasa profesional untuk melakukannya, Ma....."


"Tidak bisa !!! Mama tidak akan membiarkan usaha dan kerja keras Papamu dinikmati oleh orang lain. Cabut gugatanmu sekarang, Dinda !!! Mama sudah bicara dengan Jonathan. Bukankah dia juga tidak setuju dengan keputusanmu, jadi untuk apa kamu berkeras untuk bercerai ?"


"Aku tidak bisa, Ma.."


Ibu Dinda nampak semakin murka. Dia berdiri dari sofa tunggal yang dia duduki, berjalan tergesa mendekati Dinda. Dia lalu meremas pundak Dinda, membawa Dinda berdiri berhadapan dengannya.


"Jadi, kamu benar-benar ingin melihat keluargamu sendiri hancur, Din? Begitu ? Kamu ingin melihat apa yang kami bangun susah payah ini lenyap begitu saja? Kalau kamu bosan dengan Jonathan, kencani saja pria lain diam-diam. Yang penting jangan ceraikan dia. Mama masih butuh Jonathan serta pengaruh keluarganya...."


Dinda kini tidak bisa menahan dirinya lagi. Ucapan sang ibu barusan berhasil menyulut emosinya.


"Mam, enough !!!!! Apa Mama pikir Kak Jonathan itu hanya alat penghasil uang untuk keluarga kita?"


Ibu Dinda mengangguk mantap.


"Kenyataannya memang begitu bukan? Kamu sendiri yang bilang tadi, pernikahan kalian adalah pernikahan bisnis. Mama tahu Jonathan masih menemui kekasihnya bahkan setelah kalian menikah. Dan Mama tahu alasanmu untuk tetap bertahan dalam pernikahan tanpa cinta itu. Mama tahu semua yang kamu lakukan...."


Dinda terkesiap. Tampak tidak siap mendengar serangan dari mulut ibunya.


"Mama tahu semua yang sudah kamu lakukan, dan kamu hanya perlu terus melakukannya.... Meskipun dengan mengakui anak orang lain sebagai anak Jonathan, atau berusaha membunuh kekasih Jonathan serta anak yang ada di dalam kandungannya, lakukan saja seperti itu Dinda.... Kamu hanya perlu bertahan seperti yang sudah kamu lakukan selama ini...."


"Henry itu benar-benar anak Kak Jonathan, Mam !!! Tolong berhenti mengungkit-ungkit permasalahan itu!!!"


Hati Dinda tertohok mendengar kalimat demi kalimat yang terucap dari bibir ibu kandungnya. Seolah tanpa beban, seolah tidak ada rasa sakit yang turut dirasakan oleh wanita itu atas penderitaan putrinya. Dinda pikir, kehilangan putrinya adalah kesakitan terbesar yang pernah dia rasakan.


LokaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang