12

1.5K 161 4
                                    




.


.


.



"Uhuk! Uhuk!"

Renjun menghentikan kegiatannya dan mengusap-usap hidungnya yang barusan terhirup debu dari kasur kapuk yang ia pukul di bawah terik matahari pagi.

"Astaga Injun.. kenapa kau duduk searah hembusan angin sih? Debunya jadi menyerang wajahmu kan?" ujar pelayan pria yang kebetulan melintas di belakang Renjun yang sedang berjongkok.

"Lihat Chenle, dia duduk menyamping supaya tidak terkena hembusan debu. Dia lebih pintar darimu, padahal dia masih baru disini."

Pelayan itu menertawakan Renjun yang tengah memekik kesal karena ejekan dari pelayan pria itu. Renjun sudah ancang-ancang ingin melempar tongkat rotan yang ia gunakan untuk menepuk-nepuk permukaan kasur, namun pelayan pria itu langsung lari terbirit-birit sambil masih menertawakan wajah kesal Renjun yang lucu dimata para pelayan.

Chenle yang melihat pertengkaran kecil itu terkekeh sembari menyelesaikan pekerjaannya. Hari ini setelah menyelesaikan sarapan pagi, para pelayan membersihkan kamar masing-masing dan menjemur kasur serta bantal guling supaya terjaga keempukannya di cerahnya cuaca pagi ini.

Mereka membentangkan kain bersih sebagai alas untuk meletakkan kasur sehingga halaman depan mansion penuh dengan peralatan tidur para pelayan.

Rasanya pagi ini menyenangkan melihat canda tawa pelayan yang ada di sana. Tatapan Chenle menyendu kala teringat dengan bahaya yang sedang menghantuinya saat ini. Memang lebih baik menutup rapat-rapat tentang kebenaran dari sang penguasa mansion untuk mempertahankan tawa kebahagiaan para pelayan disini.

Chenle sadari ia berhak mendapatkan hukuman ini karena secara tak sengaja ia sudah mengetahui rahasia besar sang majikan. Tapi bagaimana dengan Renjun? Chenle tak mau pemuda mungil itu merasakan imbas akibat dari keteledorannya ini. Ia mau Renjun tetap hidup dan menjalani kehidupan yang menyenangkan di mansion ini. Tapi kenapa Renjun malah memihaknya? Ia hanyalah anak sebatang kara yang jika ia mati pun tak ada yang menangisi. Itulah sebabnya mengapa Chenle tak mau dekat dengan siapapun. Ia tahu nasib buruk selalu menghampiri hidupnya. Tiap malam ia menangis tanpa suara, menangisi nasib Renjun yang gara-gara dia lah, nyawa Renjun juga ikut terancam.

Jika saja ia tidak kembali ke perpustakaan malam itu, maka Renjun tidak akan berdiri di samping ruangan tuan Peter. Ia tidak akan menguping pembicaraan keduanya. Ia tidak akan pernah mengetahui kebenarannya.

Chenle sudah terlanjur menyayangi Renjun sebagai sosok teman sekaligus kakak yang selalu membunuh rasa kesepiannya selama ini. Memberikan kasih sayang yang tak pernah ia rasakan selama ia hidup.

"Hiks.."

Tak sadar ia terisak pelan dan pipinya sudah basah oleh air mata. Salah satu pelayan wanita yang tengah menjemur alas bantal tak jauh dari tempat menjemur kasur pun seketika berlari menghampiri Chenle yang terlihat seperti ingin pingsan.

"Chenle, kenapa menangis? Kau baik-baik saja?"

Wanita itu memegangi bahu Chenle yang sedikit bergetar menahan isakannya. Ia berusaha mengangkat kepalanya, namun silaunya cahaya matahari yang langsung menghantam penglihatannya seketika membuat kepalanya terasa berputar-putar.

"Pu.. pusing.."

Renjun segera berlari panik menghampiri tempat Chenle setelah mendengar pekikan dari pelayan wanita itu.

"Tolong angkat Chenle ke tempat teduh. Sepertinya dia pusing karena kepanasan."

Segera saja mereka membawa Chenle ke teras mansion untuk meneduh. Renjun menyandarkan tubuh Chenle ke bahunya, sementara pelayan wanita itu masuk mengambil minuman dan kompresan, Renjun  berusaha mengipasi wajah Chenle yang perlahan memerah karena efek berjemur terlalu lama di bawah terik matahari.

Moiee [SungLe]✓Where stories live. Discover now