16. Di Atas Kertas

44 2 0
                                    

16. Di Atas Kertas

KEPULANGAN Ameena tidak disambut Bu Layla dengan sukacita. Melihat Ameena merengut, Bu Layla malah langsung melukiskan mimik muka bingung. "Loh, Am? Ini, kamu balik sendirian?"

"Iya, Bu," kata Ameena dengan ekspresi masih masam. Lalu, kedua kaki Ameena bergegas tergerak untuk menyusun langkah. Mau cepat-cepat memasuki rumah.

"Aku beneran balik sendirian."

Ketika Ameena sudah dibiarkan melesat ke dalam, Bu Layla beralih menutup akses masuk ke rumah mereka seperti semula. Mendapati Ameena tahu-tahu sudah singgah ke ruang tamu dan menduduki salah satu sofa di sana, Bu Layla memutuskan untuk ikut-ikutan duduk dengan memilih sisi kosong di samping Ameena.

"Memangnya, kondisi Bu Tsania gimana, Am? Apakah serius sekali?" tanya Bu Layla. Penasaran? Pastilah. Akan tetapi, Bu Layla malah harus dikesalkan dengan sahutan apatis dari Ameena.

"Yah ... ngga gimana-gimana, Bu."

"Iiih, kamu, tuh," ucap Bu Layla dengan sebelah tangan terangkat untuk mencubit salah satu lengan Ameena, memberikan hukuman ringan kepada Ameena karena anak tersebut tidak bisa diajak bekerja sama. Masa kepada ibunda sendiri, Ameena bisa enggan untuk menggubris dengan sebagaimana mestinya?

Pada akhirnya, Ameena menarik napas untuk dibuang melalui satu dorongan. Merasa kasihan kepada Bu Tsania membuat Ameena menatap wanita bergamis aprikot tersebut sebelum memberitahu dengan intonasi setengah hati, "Bu Tsania harus dirawat di rumah sakit selama semalam. Kata dokter, Bu Tsania ngalamin kekurangan cairan sama kecapekan doang."

"Ooh."

Arah kepala diluruskan, Bu Layla beralih manggut-manggut karena sudah memperoleh kesimpulan. "Jadi, sekarang Ashraff masih berada di rumah sakit untuk nemenin Bu Tsania."

"Yah. Begitulah, Bu," kata Ameena untuk membenarkan.

Ketika Ameena sedang melepaskan aneka aksesoris dari kepala Ameena dengan barbar mengingat Ameena sudah tidak betah, Bu Layla malah cengar-cengir dan tergelak singkat untuk meledek Ameena. "Aduh, Am, kasihan kamu, masa belum sampai sehari kamu menikah sama Ashraff, kamu malah udah ditelantarin begini, mana kamu harus balik dari rumah sakit sendirian."

Aktivitas Ameena dihentikan untuk sementara. Meski sedang menderita sakit kepala akibat terlalu lama menahan beban berat, Ameena tetap menoleh untuk menatap Bu Layla dengan sorot mata tegas. "Aku ngga mau terlalu ngandelin Ashraff, Bu. Dia mah ngga akan pernah bisa dipercaya. Mulai dari kami masih SMA sampai dengan sekarang, Ashraff selalu ngga mampu untuk memahami situasi. Masih untung, aku bisa sampai rumah dengan selamat karena dianterin sama seseorang," ucap Ameena dengan wajah ditekuk mengingat Ameena sering sebal sendiri setiap terbayang sosok Ashraff.

"Loh? Tadi, kamu ngga naik taksi?"

Maksud dari ekspresi kecut Ameena dapat ditelaah Bu Tsania dengan tepat. Mungkin, Ashraff memang kurang memedulikan Ameena karena Ashraff terus disibukkan dengan Bu Tsania. Jadi, Ameena bisa merasa dongkol sekali. Andai Bu Layla mengetahui kalau Ashraff sudah sempat menawari Ameena untuk memesankan taksi, barangkali Bu Layla tidak akan sampai berburuk sangka kepada Ashraff.

"Masa Ibu ngga nyadar, sih? Aku 'kan ngga bawa uang sama handphone-ku masih di tangan Ibu," kata Ameena untuk memperjelas dengan dibersamai tulang hidung disetel mengeras dan kedua alis nyaris ditautkan. Merengut dengan semakin hebat untuk menyentil otak dari Bu Tsania.

"Tapi, ...."

"Yang nganterin kamu siapa, Am?"

Muka diluruskan ke depan, Ameena tidak tebersit keinginan untuk menyenangkan Bu Layla dengan memilih menjawab sekenanya.

AMEENA: Tentang Kehormatan yang Harus DikembalikanWhere stories live. Discover now