23. Yang Lain dari Ameena

44 2 0
                                    

23. Yang Lain dari Ameena

MENDEKATI pukul setengah empat sore, Ameena mendatangi rumah sakit sendirian. Meski tidak bisa mendampingi April dari awal untuk cuci darah, kehadiran Ameena tetaplah berharga untuk April. Yah, bagaimana tidak? April dan Adnan—adik dari April—sudah hidup sebatang kara selama tiga tahunan karena kerabat mereka malah tidak memikirkan kondisi mereka sesudah mereka ditinggalkan kedua orangtua mereka akibat mengalami kecelakaan tunggal. Yang Ameena ketahui, mereka benar-benar selalu dianggap beban.

Di sebuah ruangan dengan suasana tidak teramat lengang berkat keberadaan orang-orang dengan bernasib serupa seperti April, maksud Ameena selepas menduduki kursi di samping brankar semata-mata memang untuk menunggui April.

"Maafin, aku, Pril. Aku malah ngga bisa dateng tepat waktu," ucap Ameena dengan kondisi sedang merasa bersalah karena datang terlambat. Tadi, Ameena harus mengurus Ashraff terlebih dahulu. Jadi, Ameena menyuruh Adnan dan April untuk berangkat ke rumah sakit duluan sementara Ameena memilih untuk menyusul kemudian.

"Iya, Am. Aku udah maafin kamu, kok," kata April dengan dilengkapi senyuman dipaksakan, masih mual dan lemas, tetapi menolak untuk membuat Ameena merasa khawatir.

Karena Ameena tidak bisa menemukan batang hidung Adnan, Ameena menatap April dengan bingung dan bertanya, "Adnan mana, Pril?"

"Masih ke mushola, Am," kata April dengan suara masih tidak bisa keras.

"Ooh."

Mata menerawang entah ke mana, Ameena merespons April dengan manggut-manggut. Dia bisa menaklumi mengingat nmnang lazim sekali apabila sekarang Adnan masih menunaikan ibadah shalat ashar.

"Eh, Pril."

Perhatian Ameena lagi-lagi dialihkan kepada April. Muka cerah Ameena tidak ketinggalan untuk dipampangkan sekalian. "Aku bawain sesuatu untuk kamu," ucap Ameena dengan nada semangat.

Merogoh sesuatu dari slingbag bercorak aprikot, Ameena terus senyam-senyum. Pun selama mengulurkan benda mungil berbentuk stik ke arah April dan berseru dengan irama ceria, "Tada!"

Meraih salah satu telapak tangan April, Ameena mendesak April untuk menggenggam sebuah lipstik berwarna nude. "Nih, aku beliin kamu lipstik keluaran terbaru," kata Ameena dengen enteng.

Apakah April merasa bahagia karena dikasih hadiah sama Ameena? Tidak. Dia malah kecewa.

"Aduh, Am, kenapa kamu boros banget, sih? Mending untuk kamu saja. Yang lebih butuh 'kan kamu." 

Menurut April, kosmetik bibir tersebut akan lebih berguna untuk Ameena mengingat Ameena harus bekerja. Tapi, kapan Ameena pernah bekerja? April masih dibohongi Ameena sehingga fakta bahwa Ameena selalu menganggur bisa tidak diketahui April. Mustahil untuk Ameena mengaku. Jika Ameena ditanya bisa memperoleh uang dari mana, masa dijawab dari hasil morotin laki-laki berduit? Mending April memang tidak usah diberitahu daripada malah menyebabkan April berubah enggan untuk dibantu Ameena secara finansial.

Menerima tatapan tidak mengenakkan dari Ameena, April memilih untuk berlogika dan menanggapi Ameena dengan kepala dingin. "Begini, Am, terus terang aku ngga ngerti mau make up untuk siapa. Jadi, menurutku ... ngga berfaedah banget kalau kamu keseringan ngasih barang beginian ke aku, aku 'kan ngga suka ke mana-mana."

Alasan April sungguh rasional. Di rumah, kegiatan April sehari-hari bisa dibilang malah sekadar membuat kue doang—selain mengurus kerjaan rumah. Tapi, kenapa masih belum cukup untuk menjadikan Ameena bisa berhenti memaksa?

"Iiih, ngga asyik."

Penolakan April tetap tidak dapat dimaklumi Ameena. Bibir Ameena sampai dicebikkan. Melihat Ameena merengut dengan kedua tangan dilipat, April benar-benar merasa serba salah. "Ya, udah, deh, aku terima," kata April dengan suara rendah.

AMEENA: Tentang Kehormatan yang Harus DikembalikanOnde histórias criam vida. Descubra agora