Sebuah Penerimaan

1.4K 120 5
                                    

Kalimat Pak Prambudi yang mengakui gua sebagai menantunya membuat hati ini seperti ingin meledak. Tak pernah terpikirkan dibenak gua jika gua akan di terima oleh pak Prambudi, seketika rasa haru karena senang membuat mata gua sedikit berkaca-kaca, beruntung senggolan di bahu gua menyadarkan gua untuk tidak mengeluarkan air mata.

"Jangan nangis, wajah kamu jelek kalau nangis." Ledekan Mas Satria membuat gua merenggut kesal, gua pukul pundaknya hingga ia mengiris kesakitan.

"Ouch, sakit Sekar."

Apa coba, perasaan gua pukul pundaknya engga sekeras pukulan Thor di film marvel hingga menyebabkan musuhnya terpental hebat.

Emang Mas Satria doang si paling lebay!

"Apa sih Mas, aku aja pukulnya pelan juga. Lebay banget." Ucap gua pelan karena tidak ingin membuat Pak Prambudi yang sedang berbicara dengan Dika menjadi teralihkan.

Dari raut wajah Pak Prambudi tergambar sekali seperti telah terjadi sesuatu, setelah tadi ia sempat menyuruh Dika pergi ke lantak atas untuk memanggil seseorang. Namun, orang yang diharapkan Pak Prambudi ternyata menolak untuk turun. Sejak itu pula wajahnya yang sudah tidak tua lagi menggerut seperti orang yang sedang menahan kesal. Hingga detik ini Pak Prambudi belum juga selesai berbicara dengan Dika.

"Kok lebay sih, aku beneran tau. Nih mau liat gak--" ketika Mas Satria ingin membuka baju, buru-buru gua mencengahnya.

"Ehh.. apaa sih Mas, Malu ada bapak." Desis gua geram.

Bisa-bisanya Mas Suami mau buka baju di depan Bapaknya sendiri, emang dia gak malu apa banyak pelayan yang berkeliaran di rumah ini. Dan jangan lupakan pula dua orang pria yang sekarang sudah melihat ke arah sini.

"Kalian ini kenapa? Dari tadi kok kaya ribut gitu." Tanya Pak prambudi heran.

"Ini loh Pak, Sekar katanya mau nge-cek bekas tamparannya."

Gua melotot, kenapa mesti diberitahu ke Bapak Prambudi sih! Mas Satria nih kadang emang suka ngeselin.

Pak Prambudi terkekeh, "Nanti aja ya, Mantu. Nge-ceknya di kamar disini masih banyak orang."

Blush!

Sial, pipi gua memerah hanya karena perkataan Pak Prambudi dan kalian tahu apa yang dilakukan suami gua tercinta, ya! Mas Satria hanya tertawa melihat gua malu.

Suami laknat!

****

Setelah percakapan singkat bersama bapak--sekarang gua harus membiasakan diri untuk memanggil bapak ke pak prambudi-- akhirnya gua dibawa Mas Satria ke kamarnya yang di lantai atas.

Lantai atas hanya terdapat tiga kamar, pintu satu dekat tangga adalah kamar adiknya Mas Satria yang terakhir, saat ini Ia sedang menempuh pendidikan di luar negeri, lalu Kamar kedua yang bersebelahan dengan Kamar tadi adalah kamar adiknya Mas Satria yang kedua, dan untuk Kamar Mas Satria sendiri ada di pojok dekat jendela yang menghadap ke taman belakang.

Bedanya dari semua kamar di lantai ini, hanya kamar Mas Satria yang memiliki balkon. Tak jarang adiknya yang terakhir selalu keluar masuk ke kamar ini untuk menghilangkan stress dengan cara memandangi bunga-bunga yang di tanam oleh ibunya.

"Ibu kamu kemana Mas?" Ucapan gua menghentikan Mas Satria yang sedang memasukkan pakaiannya ke dalam lemari.

Saat ini posisi gua sedang bersandar di pagar balkon. Sejak tadi kerjaan gua hanyanya room tour di kamar ini, koper milik gua yang tergeletak di samping tempat tidur tidak gua pedulikan hingga akhirnya Mas Satria yang merapihkan pakaian gua untuk dimasukkan ke dalam lemari pakaiannya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 31, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Crazy Rich OjolWhere stories live. Discover now