Ingatan dan Teror

1.1K 144 5
                                    

"Xavier,"

Xavier tak menjawab, sepertinya pikirannya tidak berada di tempatnya.

"Xavier?"

"Ah..., Ya?"

Fredrinn mengerutkan keningnya, "Apa yang sedang kau lakukan? Apakah kau sudah menyelesaikan pekerjaan yang ku berikan padamu tadi?"

"Pekerjaan... Apa?"

Saat Xavier melihat kearah meja, barulah ia sadar kalau daritadi ia hanya mencoret-coret kertas kosong dan tak mengerjakan pekerjaannya dengan benar.

"Ada apa denganku?", pikir Xavier.

Beberapa saat kemudian Xavier menghela napas, "Maafkan aku, salahku karena tidak fokus. Aku akan mengulangnya."

Fredrinn mengedikkan bahu lalu meninggalkan ruang kerja, sebenarnya ada banyak pertanyaan yang ingin ditanyakan Fredrinn kepada Xavier tapi Fredrinn menahannya. Jadi ia meninggalkan Xavier sendirian diruang kerjanya agar Xavier bisa menenangkan dirinya.

Saat Xavier memilah-milah setumpuk dokumen yang membanjiri mejanya, fokus Xavier teralihkan oleh sebuah dokumen yang terselip diantara penjepit kertas.

"Apa ini...?" Saat Xavier membacanya, matanya melebar terkejut.

Akhir-akhir ini Xavier seringkali mendengar Fredrinn membicarakan masa lalunya. Sebenarnya tidak ada yang spesial, dari awal Fredrinn memang suka banyak bicara dan bercanda sedangkan Xavier dengan senang hati mendengarkannya. Tapi Xavier merasa akhir-akhir ini tidak seperti biasanya.

Fredrinn selalu menceritakan hal yang sama seperti seseorang sedang menyetel kaset yang rusak. Setiap kali Fredrinn hendak membuka mulutnya, di dalam benak Xavier selalu berkata, "Ah, cerita itu lagi."

Saat ini Xavier tengah membaca sebuah informasi yang sepertinya penting. Tidak penting baginya tapi mungkin sangat penting bagi Fredrinn.

Di duga sebelah barat daya Agelta ditemukan sebuah altar kuno yang tiba-tiba muncul. Itu menarik banyak orang dan karavan selalu berhenti disana untuk melihat-lihat tetapi anehnya tidak ada satupun orang yang kembali. Mendengar ini banyak orang yang ramai-ramai untuk membuktikan apakah rumor itu benar atau tidak dan ternyata setengah dari rombongan itu juga menghilang.

Ketika setengah rombongan yang masih hidup di tanya, mereka semua menjawab hal serupa, yaitu:

"Kami tidak ikut masuk ke dalam altar karena itu menakutkan. Kami takut, karena itulah kami hanya ikut kesini untuk melihat-lihat bagian luarnya saja. Saat setengah dari orang-orang itu menghilang kami merasakan ada aura yang mencekam di dalamnya lalu rasanya seperti ada sebuah gelombang yang menarik paksa tubuh kami untuk masuk ke dalam altar itu. Tetapi kami tidak terseret masuk karena kami hanya berdiri di luar altar saja."

Tentu saja Xavier meragukan informasi ini tapi sebagai pekerja, ia harus tetap melaporkan apa yang ia temukan kepada atasannya yang tak lain dan tak bukan adakah Fredrinn.

"Baca ini." ucap Xavier singkat sambil memberikan selembar kertas kepada Fredrinn.

"Apa ini?" Fredrinn bertanya sambil menerima lembaran itu, saat ia membacanya semuanya seperti yang sudah di duga Xavier. Fredrinn langsung bersemangat dan segera bersiap-siap untuk secara langsung melihat altar itu.

"Kau pergi sekarang?"

Fredrinn menoleh dan menatap Xavier, "Ya, kau mau ikut?"

"...tidak. Akan lebih baik jika ada yang menjaga anak-anak itu."

"Baiklah kalau begitu, aku pergi."

Xavier menyaksikan Fredrinn dengan cepat menghilang dari gerbang depan kastil nya.

Entah kenapa dalam tubuh Xavier ada yang mencekik jantungnya. Rasanya sesak, jantungnya juga terasa sakit. "Mengapa?" gumam Xavier sambil menyentuh dadanya sendiri.

"Xavier, kemana dia pergi?" tanya Yin sambil bersandar di pintu di dekat Xavier.

"Altar Kuno di sebelah Barat Daya Agelta."

"Hmmm, begitu ya?"

Xavier mengangguk lalu dengan acuh tak acuh meninggalkan Yin yang sedang berdiri sendirian disana.

Yin tidak lah bodoh, akhir-akhir ini ia selalu memperhatikan Xavier bersama dengan Julian dan Melissa. Tapi kali ini Yin benar-benar mempercayai apa kata Julian, ada yang tak beres dengan Fredrinn dan Xavier, terlebih lagi Xavier sendiri.

Saat ini Julian tengah membantu Xavier sekaligus menemaninya di ruang kerja. "Tuan, apakah masih banyak lembar kerja yang belum di cek?"

Xavier menggelengkan kepalanya, "Hanya tinggal di map ini saja, di dalamnya tinggal sedikit. Kau bisa pergi keluar bersama Yin dan Melissa jika kau mau. Aku bisa mengurusnya sendiri."

Julian memiringkan kepalanya, kebingungan. Saat ia masih menjadi Raven, Julian sudah berkali-kali mendengar bahwa menjadi Knight of Light akan sangat sibuk karena mereka semua adalah orang penting sekaligus seperti tentara yang berjaga dan menyerang di garis depan.

Julian juga pernah mendengar bahwa salah satu dari Knight of Light itu tidak mengandalkan senjata seperti ksatria yang lain. Jika ksatria yang lain menggunakan pedang besar, panah, perisai ataupun tombak, ada satu ksatria yang menyerang di garis depan hanya dengan mengandalkan sihirnya tanpa menggunakan alat bantu ataupun senjata sama sekali.

Itu adalah Xavier, Knight of Light yang termuda yang berhasil mendapatkan julukan Arbiter of Light.

Sering kali Julian diberitahu oleh teman-temannya bahwa ksatria yang termuda adalah yang paling patuh namun ia memiliki sikap arogan dan sarkastik. Awalnya Julian memang tak memperdulikannya, kini saat ia melihat ksatria yang di maksud teman-temannya berada tepat di hadapannya, barulah Julian mempercayai apa kata teman-temannya dulu.

Siapa sangka ksatria yang dianggap paling patuh malah menjadi pemberontak pertama yang mengkhianati cahaya?

Julian diam-diam memperhatikan Xavier sambil menggeluti isi pikirannya.

Disisi lain sebenarnya Xavier sudah tau kalau Julian terus memperhatikannya jadi Xavier pun bertanya, "Ada apa?"

Julian sedikit terkejut lalu meluruskan wajahnya, "Tidak. Aku hanya mengingat sesuatu dari ingatan beberapa tahun yang lalu."

Pergerakan Xavier terhenti untuk sejenak karena setiap kali dia mendengar kata "ingatan masa lalu" ia selalu mengingat kejadian sepuluh tahun yang lalu dengan sangat jelas.

Anak yang kehilangan orang tuanya, orang tua yang kehilangan anaknya, tangisan dan jeritan, darah dan daging terciprat dimanapun ia menapakkan kakinya. Api membakar perumahan, mengalahkan dinginnya salju yang turun malam itu.

Api yang membara kala itu benar-benar membakar dinginnya musim dingin.

Serta mengingat seorang anak kecil berambut merah yang memaksakan senyuman dibalik ketakutannya.

Saat Xavier mengingat itu tubuhnya lalu gemetar dan napasnya terengah-engah, saat ia tersadar Julian tengah memberikan segelas air untuknya.

"Tuan, apakah tuan baik-baik saja? Ini, minumlah agar tuan bisa tenang...," ucap Julian dengan nada yang terdengar sedikit panik.

Anak kecil berambut merah yang memaksakan senyuman dibalik rasa takutnya kini sudah menjadi Raven terbaik yang berada di sisi yang sama dengannya.

Ketika ia melihat Julian di depan matanya, Xavier menghela napas lega lalu Xavier meminum segelas air yang diberikan Julian padanya.

Bersyukur? Seharusnya begitu.

Xavier saat ini merasa takut. Takut bahwa semua ini hanyalah mimpi yang sempurna yang sudah diciptakan oleh Archbishop untuknya agar ia selalu menuruti perintahnya tanpa ada sedikitpun pemikiran membangkang terlintas dalam otaknya.

My Time Flows To You (Fredrinn x Xavier)Where stories live. Discover now