49. Bertengkar

11 2 0
                                    

"Kalian semua duluan aja, masa mau nungguin gue kelar piket?" Riana mengerutkan dahi saat menatap satu per satu sahabat-sahabatnya yang menemani piket kelas agar bisa pulang bersama. Shana dan Sella masih takut Satria akan menganggu Riana lagi, mengingat kelas mereka yang bersebelahan.

"Nggak ah, nunggu aja, bentar lagi kelar juga kan?" ujar Shana menatap sekeliling, rasanya kelas sudah cukup bersih dan tak ada salahnya menunggu.

"Ya tapi nanti jemputan lo nungguin, Shan."

"Gue bawa motor sendiri kok."

"Kita di sini cuma mau jagain lo dari si kampret Satria, Ri. Jadi jangan nolak-nolak." Sahut Sella yang membungkuk melihat area laci meja orang-orang barangkali ada sampah yang tertinggal. Kebiasaan para manusia jorok itu kan memang begitu.

Riana menatap Deeva yang sibuk berkutat pada layar ponsel. "Deev, lo pulang duluan aja nggak papa."

Deeva menggeleng. "Ngusir? Masa gue pulang sendiri, ogah banget. Lagian belum ada yang jemput gue."

"Miss?" Missa menoleh.

"Gue lagi nungguin Abel."

"Si Kiera napa pulang duluan?" Sella beranjak duduk di dekat Shana. Mengangkat dagu seolah bertanya.

"Katanya sih ada urusan."

Riana menghela panjang, kemudian melanjutkan menyapu bagian kursi guru. Padahal masalah itu sudah lalu dan harusnya memang dilupakan. Namanya juga sahabat, pasti tidak akan ada yang mau salah satu di antara mereka terkena masalah, lebih baik Riana diam.

Saat baru ingin keluar membuang sampah, tiba-tiba saja sosok Abel membuat Riana mundur lantaran terkejut. Gadis itu berlari menyelinap masuk ke dalam kelas dan duduk di bangkunya dengan ritme napas tak beraturan.

Missa yang kaget lantas bangkit dan menghampiri. Matanya membola saat menyadari telapak tangan gadis itu berlumuran darah.

"Heh, tangan lo kenapa, Bel?!" Katanya sembari mengangkat tangan Abel.

"Ya-ampun, darah!" Shana pun sama kagetnya dengan Missa, bahkan ia sampai berjongkok untuk melihat luka gadis itu. Sella hanya bisa meringis saat memandangi tangan Abel, lukanya cukup besar.

"Obat-obat, ada yang bawa obat merah nggak?" kata Shana mulai panik.

Riana berlari ke luar sambil membawa ember yang tak sengaja tergeletak di dekat pintu, mengisinya di keran depan lalu masuk kembali ke dalam kelas. "Cuci dulu, biar bersih."

Deeva mengambil alih ember dari tangan Riana, menuangkan sedikit demi sedikit air ke telapak tangan Abel. Sementara terlihat Missa merogoh tas kecilnya mencari keberadaan tisu.

"Ada yang punya plester?"

"Gue bawa," Deeva berlari ke bangkunya di barisan kedua, merogoh tasnya mencari keberadaan plester luka yang sepertinya terselip ke bagian bawah tas–tertumpuk buku pelajaran.

"Bel, lo kenapa sih bisa kayak gini, lukanya besar lho ..." tegur Sella dengan raut wajah khawatir.

Missa menyodorkan tisu itu pada Shana yang langsung membuatnya membersihkan telapak tangan Abel.

"Kenapa lari-lari sih?" Riana ikut khawatir, bahkan wajahnya memelas mungkin karena tidak kuat melihat darah segar yang terus mengalir itu.

Abel mengusap dadanya pelan, sembari memandang mereka semua. "Gu-gue tau siapa pelaku yang udah ngambil uang kalian."

"Siapa?" dahi Shana berkerut penasaran, diikuti kerutan di dahi yang lain.

"Pak Raditya."

Deeva yang sudah berhasil menemukan plester luka di tasnya membeku di tempat, tangannya seolah kehilangan tenaga sampai membuat plester itu jauh ke lantai. Di depan Abel, Shana pun sama. Bahkan bukan cuma mereka tapi Riana, Sella dan Missa sekali pun terkejut dengan ucapan gadis berkacamata itu.

Ineffable |TAMAT|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang