56. Temu Yang Semu

12 4 0
                                    

"Ngapian lo di sini, hah?! Lo cuma mau ngetawain gue kan, lebih baik lo pergi sekarang!"

Sasa enggan acuh, bahkan kali ini tubuh gadis itu malah mendekat ke arah sel tahanan.

"Gue cuma mau kasih tau sama lo, Di. Nggak semua rasa benci lo harus dibales pake cara kotor kayak gini. Itu bukannya makin buat lo ngerasa bersalah?"

Dian mengalihkan pandangan, terlalu muak melihat sosok pengkhianat yang dulu pernah menjadi teman–ah tidak, babu maksudnya.

"Lo harus cepet-cepet minta maaf sama Abel dan temen-temen yang lain. Satu sekolah udah tau kebusukan lo, mereka pengen banget dateng ke sini buat maki dan mukulin lo, tapi Rakha sama Dito berhasil buat mereka tenang. Lo beneran udah kacau, Di."

Dian mengacak rambutnya, frustrasi. "Lo pikir gue mau minta maaf sama anak kampungan itu? Nggak akan dan nggak akan pernah, Sa!" Dian berdiri dari duduk selonjoran di lantai tanpa alas. Menatap tajam Sasa di luar sel tahanannya.

"Lo tau kan? Seberapa bencinya gue sama cewek jelek itu?! Gue nggak akan pernah sudi dia menang dari gue!"

Sasa menarik napas dalam. "Terserah lo, gue harap setelah keluar dari penjara beberapa tahun kemudian, lo bisa berubah ya, Di. Gue udah tau kok pihak berwajib kasih hukuman penjara ke lo dan Leon selama 5 tahun. Jadi lo jangan malu."

Ia tersenyum, menyampirkan tas selempangnya yang sempat jatuh ke bahu. "Gue pamit, jaga diri, Di. Penjara itu keras." Lalu berlalu secepat mungkin.

"Akh, sial!!"

"Wey, anak baru! Ribut mulu lo, sini pijetin kaki gue aja, buruan!"

Dian menatap sinis sosok wanita di ujung sel–satu tempat dengannya. Sedari tadi cuma terdiam menyaksikan ia dan Sasa beradu mulut. Tapi lihatlah sekarang, dia main asal suruh Dian ini-itu. Sebenarnya sejak kemarin Dian jadi pembantunya.

"Nggak usah melotot lo, gue ini senior. Mau leher lo gue patahin, hah?!"

Dian bungkam, tak berani melawan. Wanita itu berusia lebih tua darinya. Bahkan terlihat seperti ibu-ibu. Jelas mau tak mau Dian harus menurut. Gadis itu berjalan perlahan, duduk di samping si wanita yang tampak kelelahan. Lantas memijat tangannya sekuat mungkin.

♡♡♡♡

"Abel, bangun!!"

Mungkin karena hari libur? Abel jadi malas untuk bangun dari tidurnya meski sang surya sudah beranjak naik. Gadis itu masih bergelayut pada kasurnya–selimutnya–serta bantalnya yang terasa ringan bak awan, bedanya ini di bawah.

"Mentang-mentang hari libur, jangan malesan, Abel! Ayo bangun!!"

Abel menggerutu. "Iya, ini bangun kok, udah nih—" ia bangkit, rambutnya yang tidak terikat berantakan menutupi wajah, Sri tertawa melihatnya.

"Udah sana, mandi. Anak gadis itu harus rajin. Gimana mau jadi istri kalo bangun pagi aja susah?"

"Huft ... Abel masih delapan belas tahun, Bu. Udah ngomongin istri aja, masih jauh!"

"Ya sudah. Cepetan sana!! Mau Ibu jewer ya?!"

Sigap ia meloncat dari ranjang, menyambar handuk di kursi belajar. Berlari ke arah kamar mandi yang kebetulan berada di dalam kamar. Sri menggeleng-gelengkan kepalanya. Lantas merapikan ranjang anak gadisnya yang kusut setiap pagi.

"Ck, ck, ck, punya anak perempuan begini!" Tanpa sengaja Sri melihat ke arah meja belajar di mana sebuah amplop coklat tergeletak. Menghampiri dan mengangkatnya.

"Apa ini ... surat dari sekolah jangan-jangan? Ah, anak itu ..." ia membuka, melihat isinya. Selembar foto hitam putih menyambut. Kening wanita itu berkerut penasaran.

Ineffable |TAMAT|Where stories live. Discover now