07. Lantai dua

454 59 25
                                    

Happy reading

***

"Lo bukan adik gue, sialan!"

"Lo itu pembunuh!"

"Sampe kapanpun gue gak akan maafin Lo!"

"Lo gak berhak bahagia! Seharusnya Lo yang mati bukan dia!"

"Gue gak akan biarin seorang pembunuh kayak Lo hidup bahagia!"

Gara terus berjalan tanpa arah dengan pandangan kosong. Kalimat yang dilontarkan Deka tadi pagi terus terngiang di kepalanya. Sang Abang sangat membencinya, sampai menginginkannya hilang di dunia ini.

"Gara Mahendra!"

Sudah berapa kali Alina berteriak memanggil nama itu, namun Gara sama sekali tidak menghentikan langkahnya. Alina kesal, sangat kesal dengan kejadian tadi. Gara membentaknya tanpa sebab, sungguh Alina tidak terima karena dia tidak bersalah.

Sontak kaki Gara terhenti saat Alina melempar sling bag tepat di punggung belakang lelaki itu.

Alina berjalan mendekat, hingga keduanya kini saling berhadapan.

"Tunggu gue lempar dulu baru Lo liat ke arah gue?" Kaki Alina sudah sangat lelah mengekor langkah kaki Gara yang lebar dibanding dirinya. "Kenapa tadi Lo ngebentak gue?!"

Gara hanya diam memandang Alina.

Tadinya Alina ingin marah, namun saat melihat tatapan tajam itu berubah menjadi sendu Alina menarik niatnya untuk memaki lelaki itu.

"Lagi ada masalah? Gue pernah denger kalo lagi ada masalah lebih bagus diceritain sama orang lain juga, biar jadi lebih tenang. Gue ini pendengar yang baik, jadi Lo bisa cerita ke gue." Alina melipat kedua tangannya sembari melihat sekeliling. "Di sana ada tempat duduk-" tunjuk Alina pada pohon yang tak jauh darinya. "Ayo cerita di sana aja." Alina menggenggam tangan cowok itu dan sedetik kemudian Gara langsung melepasnya.

"Pergi dari hidup saya," pinta Gara dengan tatapan sendunya. "Saya mohon," lanjutnya.

Alina terdiam melihat tatapan memohon itu. Gara yang biasanya tampak kuat, entah mengapa kali ini cowok itu terlihat tidak baik-baik saja.

"Lo marah sama gue karena masalah di kantin tadi? Bukan gue duluan, tapi cewek itu datang terus marah-marah gak jelas, dia ganggu gue yang lagi cerita sama Vino. Gue gak terima, makannya gue pukul dia duluan." Alina menjelaskan, mungkin saja memang itu penyebab Gara marah padanya.

Sang lawan bicara memandang wajah Alina cukup lama. Gara tadinya juga tidak ingin cewek itu pergi dari hidupnya. Apalagi saat pagi tadi, saat dia pergi begitu saja mengabaikan panggilan gadis itu, kalau boleh jujur saat itu Gara tersenyum diam-diam. Gara juga tidak tahu mengapa, tapi mendengar gadis itu kesal karena diabaikan olehnya tadi, membuat paginya begitu terhibur.

Tetapi Gara tahu, dia tidak berhak bahagia. Dirinya akan selalu ingat bahwa dia adalah pembunuh. Bahkan untuk tersenyum saja Gara merasa tidak pantas.

"Pergi, pergi yang jauh. Saya gak suka liat kamu ada di sini. Karena sebelum ada kamu, hidup saya tidak sekacau ini." Akhirnya Gara mengatakan hal yang tidak ingin dia katakan. Namun untuk menghilangkan kebahagiaannya, Gara memang harus berbicara seperti itu.

"Lo kenapa? Waktu itu Lo pernah minta jadi temen gue, sekarang kenapa Lo bicara kayak gitu?!"

"Udah saya bilang, saya enggak kenal kamu, saya keliru waktu itu. Pergi, cewek kayak kamu cuma tambah masalah buat saya."

Seperti ada ribuan jarum yang menusuk hatinya, perkataan itu mampu membuat Alina terdiam, sakit sekali hingga Alina tidak mampu untuk berbicara.

Gara mengeluarkan dompetnya. "Saya baru ingat kamu ngedeketin saya karena uang, 'kan?" Mengeluarkan uang beberapa lembar bewarna merah. "Ini ambil, kalo kurang bilang biar nanti-"

Dokter Gara Mahendra!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang