CHAPTER II

905 210 22
                                    

"Gelang hadiah dari Elang kok nggak kamu pakai?"

Bunga tengah menyobek kemasan obat ketika pertanyaan Mama menghentikan gerakannya seketika. Bunga tersenyum kecil, melanjutkan kegiatannya. "Mau ... aku simpen aja, Ma. Sayang."

"Loh ... kok gitu? Itu kan hadiah ulang tahun dari Elang. Dipake dong, Sayang. Apa jangan-jangan kamu ngambek Elang nggak dateng ke acara ulang tahun kamu?"

Bunga kini tertawa. "Mana ada aku ngambek. Nggak, Ma. Aku beneran mau simpen gelang itu dan dipake di saat-saat tertentu aja."

"Ya udah, kalo memang itu keinginan kamu, Mama nggak maksa." Mama menerima sodoran obat dari Bunga. "Malam ini Mama boleh makan sate ayam, ya? Mama kangen banget yang manis-manis."

"Saus kacangnya aku sedikitin, tapi."

"Siap, Dokter."

Bunga tertawa. Karena merawat dan bahkan menyuntik perut Mama dengan insulin, Mama seringkali menyebut Bunga sebagai dokter atau suster. Awalnya aneh, tapi sekarang Bunga terbiasa. Mungkin itu bentuk apresiasi Mama karena Bunga merawatnya.

Bunga kembali ke meja kerjanya di kamar. Duduk di sana, termenung untuk waktu yang lama. Matanya mengarah pada pigura di mana dirinya dengan Elang saling berdiri bersebelahan dengan seragam SMA mereka. Foto itu diambil Mahesa. Selama menjalin hubungan dengan Elang, Bunga jarang sekali mengabadikan momen mereka. Foto ini menjadi foto termanis dari minimnya foto mereka berdua. Bunga tersenyum lebar di sana, sementara Elang hanya menunjukkan senyum tipis. Bukankah terlihat dari foto ini siapa yang lebih mencinta siapa?

Bunga menarik salah satu laci kerjanya, mengambil gelang 'hadiah ulang tahun' Elang yang Mama sebut tadi. Gelang berbandul kecil bunga itu dari emas. Sejak pertama melihatnya di toko, Bunga sudah tertarik pada gelang tersebut. Tentu saja Bunga memiliki ketakutan gelang tersebut diambil orang, namun, Bunga yakin apa yang menjadi miliknya, tidak akan tertukar dengan milik orang lain.

Lalu, Bunga membelinya di hari Selasa siang, dan mengatakan pada semua orang bahwa itu hadiah ulang tahun dari Elang, sebagai ucapan maaf karena tidak bisa datang.

"Anakku, mau makan malam apa?"

Papa muncul dari balik pintu kamar. Bunga bisa melihatnya dari refleksi di kaca. Segera Bunga berbalik memandang wajah Papa. Beliau masih mengenakan seragam kantor berwarna cokelat terang.

"Mama tadi mau beli sate. Aku ikut maunya Mama."

Papa mengangguk. "Papa kupasin apel," sahut pria paro baya itu, menyodorkan piring berisi buah apel yang juga sudah dikupas kulitnya. "Hari ini kamu ngapain aja, Tuan Putri Papa?"

Bunga segera menerima sodoran piring tersebut, memakan satu potong, mengunyah sambil menjawab pertanyaan Papa. Papa selalu mendengarkan dengan seksama keseharian Bunga yang itu-itu saja tanpa bosan. Bunga sebetulnya heran. Papa orang yang sama sibuknya dengan Elang, mungkin lebih sibuk, tetapi anehnya, Papa masih ada waktu untuk mengupas dan memotong buah untuk Bunga, dan mendengarkan cerita Bunga.

Bukankah selain sibuk, ada juga yang namanya prioritas? Apa Bunga sudah bukan masuk prioritas Elang lagi? Atau, apakah Bunga pernah masuk dalam daftar lima teratas prioritas Elang?

Begitu Papa pergi dan Bunga kembali sendiri, ia menaruh piring berisi buah di meja, kini mengambil ponselnya yang tergeletak tanpa dentingan bunyi notifikasi spesial. Sudah berhari-hari dentingan spesial itu tidak mampir di sana. Elang hanya ... mengucapkan selamat ulang tahun, lalu kembali pergi. Namun, Bunga tidak lelah mengabari. Seperti sekarang. Jemarinya mengetik pelan di layar ponsel, mengirimkan satu pesan manis.

Bunga: Aku udah selesai nulis. Jangan lupa makan malam ya, Lang, kalau kamu lembur. Jangan sampai sakit. Aku sayang kamu, selalu ❤️

Wanita bodoh.

DaydreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang