CHAPTER III

807 210 26
                                    

Bunga adalah pemikir. Terlalu pemikir. Sebelum suatu hal buruk terjadi, dia sudah memikirkan hal tersebut, mencari antisipasi, mencari solusi bila hal tersebut terjadi. Bunga adalah wujud dari gelisah. Dia tahu berbagai kemungkinan yang akan terjadi, dan dia akan mencari jalan keluar terbaik dari tiap kemungkinan tersebut. Mungkin itulah alasan Bunga menjadi seorang novelis. Ia membuat masalah, membiarkan para karakter mengalami masalah tersebut, menuntun karakter tersebut menyelesaikan masalah yang mereka alami, dan membuat para karakter mendapat simpulan dari masalah tersebut, sehingga karakter berkembang sebagai manusia.

Contoh sederhananya, Bunga selalu memastikan lantai menuju kamar mandi tetap kering, agar Papa atau Mama tidak terpeleset. Bunga selalu memastikan semua stop kontak terhindar dari air, agak tidak terjadi korsleting. Bunga selalu ... menghindari hal buruk terjadi.

Bunga selalu menjadi pemegang kendali.

Jadi ketika lift tersebut macet, Bunga tahu suatu saat dia akan mengalami hal tersebut, dan ia segera memencet tombol darurat yang ada di panel lift. Tidak ada kepanikan dari raut wajah atau tindakannya.

"Ada yang bisa dibantu?"

Sebuah suara terdengar.

"Lift 3A macet di lantai 14, Kak," beritahu Bunga segera. "Apa ada teknisi yang bisa membantu?"

Suara itu mengarahkan Bunga bahwa sebentar lagi akan ada teknisi yang mengatasinya. Bunga dan penumpang lift lain hanya perlu diam menunggu, tidak panik. Bunga mengucap terima kasih dan suara tersebut hilang. Tertinggal Bunga dengan kegelapan bersama ... Iyan.

"Kak Adriyan nggak apa-apa?" tanya Bunga, sebagai bentuk kesopanan.

Iyan yang sudah mengaktifkan senter dari ponselnya, menyahut. "Bunga nggak apa-apa?"

Dia tahu nama Bunga.

Alis Bunga mengernyit. Bunga berharap gelapnya lift tidak membuat Iyan menyadari kernyitannya itu. "Nggak ... apa-apa." Bunga terdiam sebentar, dan ia berpikir akan diam sampai teknisi datang, namun ia tidak tahan untuk bertanya. "Kak Adriyan tau saya?"

Iyan tertawa, dan sungguh, Bunga paham kenapa Iyan digilai banyak perempuan.

"Formal banget. Panggil Iyan aja, nggak apa-apa, kok. Pake aku-kamu juga boleh. Kayaknya kita gak beda jauh juga umurnya."

"Oke ... Iyan. Iyan kok tau aku?"

Iyan mengeluarkan sesuatu dari tas kanvas di bahu kirinya, sebuah buku, kemudian menyoroti buku tersebut dengan senter dari ponsel.

"Project baru aku adalah jadi salah satu teman tokoh utama di ceritamu. Aku riset sedikit tentang penulis novelnya dan aku tau wajah kamu dari internet."

Bunga tertegun. Biasanya, aktor atau aktris, tidak sedalam itu mencari tau karya asal dari project yang mereka kerjakan. Membaca skenario pun sudah cukup, mengingat mereka memiliki banyak pekerjaan lain. Baru pertama kali Bunga menemui pekerja seni yang mendalami karya seperti ini .... Bunga tidak heran apabila karier Iyan akan melesat nantinya.

"Oh ... wow."

Iyan tertawa kecil lagi. "Aku suka ceritanya. Sayangnya aku belum jadi tokoh utama. Mungkin karena warna kulit aku nggak sesuai sama deskripsi tokoh utama."

Bunga melirik warna kulit kuning langsat Iyan, lalu mengingat bahwa tokoh utama di ceritanya adalah seorang perenang yang memiliki warna kulit cokelat gelap. Sebenarnya, bisa saja Iyan mengenakan riasan warna kulit gelap, namun Bunga tidak sampai hati menyampaikannya. Bunga bisa menangkap bahwa Iyan menghibur diri karena ... tidak mendapat posisi pemeran utama.

"Aku yakin Kak Iyan bakal dapet pemeran utama, suatu saat. Akting Kakak bagus banget, soalnya."

"Panggil Iyan aja."

DaydreamWhere stories live. Discover now