CHAPTER VIII

603 133 14
                                    

Di luar langit berwarna jingga kemerahan ketika Bunga menengok ke belakang. Karena mereka ada di lantai 12, Bunga bisa melihat gurat indah langit dari balik dinding kaca gedung. Begitu indah, sehingga Bunga menatap senja lebih lama dibanding seharusnya, sampai Mika menepuk pundak Bunga.

"Mau makan malam di mana?" tanyanya.

Bunga menoleh. Mika tengah membawa dua nasi kotak di tangan kirinya. Sejak lima menit lalu, istirahat kedua sudah dimulai selama satu jam ke depan. Istirahat pertama mereka ada di jam tiga sore. Sekarang, sudah jam enam malam.

Bunga merapikan alat tulis dan naskah skenario di meja bagiannya, kemudian mengambil tas yang ia sampirkan di kursi. "Makan di bawah yuk, sekalian beli kopi."

Alis Mika mengerut. "Emang boleh ngopi lagi?"

"Asal nggak ketahuan Mama."

Mika berdecak. Walau terkesan tidak mendukung, editornya itu tetap menuruti permintaan Bunga untuk membeli kopi, namun Mika berpesan pada barista untuk mengurangi kandungan kopi di minuman Bunga.

"Kok lo ngasih tau gue suka Taylor Swift sih?" tanya Bunga ketika mereka sudah duduk di salah satu kursi kedai kopi.

Bunga membuka kotak makannya. Lagi-lagi ayam. Bukannya Bunga ingin menjadi manusia tidak bersyukur, namun ia bosan memakan ayam. Bahkan ayam geprek sekalipun. Entahlah, semakin Bunga dewasa, ia semakin bosan makan, karena makanan yang ia jumpai itu-itu saja setiap hari.

Mika menaikkan satu alis. "Hah?" tanyanya dengan ekspresi bodoh.

Bunga mendengkus keras. "Iyan."

"Ooooh." Ada seringai menyebalkan di wajah Mika. "Tadi ngobrolin itu, toh?"

Bunga kali ini mendelik ke arah Mika. Delikan itu membuat Mika terkekeh karena tahu Bunga sudah bete sekali dengan editornya itu.

"Yaaa, sorry, Ung. Gue kira lo malah seneng kalo gue kasih tau Iyan hal itu."

"Lo kan tau gue nggak boleh terlalu deket sama artis."

Kali ini, kekehan Mika hilang sempurna. Ia menatap Bunga dengan sorot yang sulit Bunga artikan. Editornya itu bahkan berhenti menyuapkan makanan ke mulutnya. Mika hanya ... menatap Bunga lekat, sampai Bunga gerah.

"Kenapa, sih?"

"Sekarang lo boleh kok, Ung, deket sama siapa aja."

Kalimat Mika itu membuat wajah Bunga memias.

"Nggak akan ada yang ngelarang lo lagi ... untuk deket sama artis ... atau siapa pun itu yang ingin lo dekati. Lo juga ... nggak akan dicurigai lagi karena editor lo cowok."

Tenggorokan Bunga tercekat. Ia menunduk pelan, menyuapkan makanan, namun hal itu tidak membantu apa pun. Yang Mika katakan benar. Namun, yang Mika katakan juga membuat Bunga sadar, bahwa sekarang ... dirinya memang benar-benar sendiri.

"Oh, iya," sahut Bunga setelah menelan makanannya. "Gue lupa."

Mika menatap Bunga sesaat lebih lama, kemudian lelaki itu mengalihkan obrolan ke hal yang lebih ringan, dan Bunga berterima kasih akan usahanya tersebut, karena mungkin saja bila percakapan tersebut dilanjut, air mata Bunga yang ia tahan-tahan bisa menetes. Mika mengatakan bahwa Matt baru pulang dari Jerman. Mika dan sahabat mereka yang lain akan mengadakan pesta penyambutan untuk Matt.

"Lo ikut, deh, Ung. Biar ketemu sama temen-temen bobrok gue. Di sana ada ceweknya juga, kok."

Bunga mengangguk pelan, mulai mengingat dalam kepala untuk ikut serta dalam pesta kecil-kecilan tersebut. Bunga dan Matt sempat satu kelas di kelas sebelas. Bunga pernah iseng membaca tugas cerpen dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia milik Matt, ketika ia ditugaskan untuk mengumpulkan seluruh tugas teman sekelasnya. Rupanya, Bunga suka sekali dengan gaya penceritaan Matt. Sejak itu, Bunga sering bertanya-tanya pada Matt soal tulis-menulis dan bahkan mereka jadi teman baca. Bunga menceritakan buku yang ia baca begitu pula sebaliknya. Namun, kedekatan mereka ... membuat Elang cemburu, jadi Bunga berhenti bicara dengan Matt.

DaydreamOù les histoires vivent. Découvrez maintenant