CHAPTER IX

513 123 9
                                    

"Unga, makan siang dulu, yuk."

Sulit mata Bunga untuk membuka di tengah gelap yang ia kondisikan di kamarnya, namun suara Mama berikut ketukan di pintu membuatnya berusaha melihat sekitar. Jam digital di nakas menunjukkan pukul 12:03. Sudah enam jam ia tertidur.

"Duluan, Ma. Unga mau ngumpulin nyawa dulu."

"Mama tunggu, ya."

"Iya."

Bunga terduduk di tempat tidur, hanya termenung di sana untuk beberapa saat. Kepalanya segera memutar ulang kejadian-kejadian penting kemarin. Sesudah pulang dari production house, Bunga langsung menenggelamkan diri di tempat tidur, bangun saat subuh tiba, kemudian lanjut tidur lagi. Ia tahu badannya akan terasa tidak enak ketika bangun, namun kantuk menyerang sampai membuat kepalanya berdenyut, jadi tidur adalah solusi.

Sama seperti mengusir sedih. Bunga banyak tidur untuk menghilangkan perasaan itu, walau ruang kosong itu masih menghujam hatinya.

Bunga tau sedih itu akan berangsur hilang, tapi kalau boleh ia katakan, sekarang dirinya tengah tidak baik-baik saja.

"Gimana kemarin reading-nya? Lancar?"

Bunga menyuap makanan kemudian mengunyahnya pelan seraya mengangguk. Wajahnya sudah lebih segar setelah cuci muka dan mengambil wudu untuk salat Dzuhur. Mama memperhatikan tiap garis wajah anak bungsunya itu dengan cermat. Rona senang itu masih absen. Namun setidaknya mata itu sudah tidak bengkak lagi seperti kemarin.

"Kamu ketemu Iyan, nggak?"

Bunga segera mengernyitkan alis. Kenapa semua orang sangat tertarik dengan orang itu?

"Ketemu, Ma," sahut Bunga setelah menelan makanan. "Kenapa? Mama mau tanda tangan?"

Mama tertawa pelan. Sudah jelas Bunga tahu keinginan ibunya. Sejak novel Bunga difilmkan pertama kali, hal itu yang Mama minta. Beliau bahkan punya koleksi tanda tangan bukan hanya dari berbagai artis, tapi dari berbagai pekerja seni lainnya seperti penulis, pelukis, musisi, dan masih banyak lagi. Hal tersebut sudah ia geluti sejak SMA. Sebuah hobi yang aneh.

"Anaknya ganteng banget loh, Ung. Kamu nggak tertarik sama dia, kah?"

Bunga segera menggeleng. Iyan memang sangat rupawan. Kemarin saja semua mata memandang Iyan, padahal dia bukan pemeran utama film. Mulai dari aktris yang terlibat sampai karyawati production house. Aksi curi pandang tersebut tentu terdeteksi oleh Bunga yang dari awal merupakan pengamat handal.

"Kamu, mah." Mama tiba-tiba merajuk. "Dari awal novel kamu difilmin, nggak ada satupun aktor yang nyangkut."

Kali ini, Bunga yang tertawa. "Aku nggak suka kehidupan artis, Ma."

"Mereka juga makan nasi, Unga. Bukan makan berlian."

"Bukan soal itu."

Mama mengerucutkan bibir, benar paham apa maksud Bunga, namun tentu saja ada terselip keinginan dalam hatinya anaknya berjodoh dengan artis.

Sesi makan siang itu berjalan lancar setelahnya. Obrolan kali ini berganti dengan hal lain. Mama akhir-akhir ini tengah mencoba pilates bersama gerombolan tetangganya. Bunga mengingatkan Mama untuk tidak terlalu memforsir, apalagi pilates bukan olahraga yang bisa dipandang remeh. Mama meyakinkan diri bahwa ia bisa, apalagi sekarang kondisi kesehatannya sudah lebih membaik. Mama ingin banyak gerak, tidak seperti dulu yang hanya terbaring lemah di sofa.

"Unga."

Bunga yang sudah berdiri dengan membawa dua piring kosong–piringnya dan Mama–berhenti bergerak. Mata rusanya menatap Mama, menunggu.

Hai finito le parti pubblicate.

⏰ Ultimo aggiornamento: Mar 17 ⏰

Aggiungi questa storia alla tua Biblioteca per ricevere una notifica quando verrà pubblicata la prossima parte!

DaydreamDove le storie prendono vita. Scoprilo ora