CHAPTER IV

897 222 35
                                    

Hal yang paling Bunga khawatiri dari hubungannya dengan Elang adalah orang yang Bunga sayangi bisa mengendus ketidakberesan tersebut. Sebanyak apa pun Bunga menutupinya, bau sebuah bangkai tidak akan terlewat begitu saja. Jadi, ketika undangan pernikahan dari salah satu teman SMA mereka menghias ruang obrolan grup, Bunga tahu dirinya berada di ambang batas. Undangan itu sungguh tiba-tiba. Jadi, Bunga tidak memiliki persiapan yang banyak, karena akhir-akhir ini ia sudah cukup disibukkan dengan membaca ulang naskahnya yang akan naik cetak.

Bunga: Lang, ada undangan nikah dari Vira. Apa kamu bisa luangin waktu kamu untuk datang dengan aku?

Bunga memandang pesan tersebut, yang sama seperti pesan sebelumnya, masih menampakkan centang dua berwarna abu-abu. Bunga tidak segelisah sebelumnya karena tidak dibalas. Namun, situasi sekarang sangat genting.

Una: Jadi gimana? Udah ada jawaban dari Elang?

Bunga menghela napas berat, menyentuh balon teks yang muncul dan mengetikkan balasan untuk Una.

Bunga: Chat aku belum dibales dari tiga jam yang lalu

Una: Si anj

Una: Udahlah, Ung. Kalo Elang dipandang buruk sama yang lain, itu urusan dia

Bunga tidak bisa membiarkan itu. Walau perlakuan Elang buruk padanya tiga bulan terakhir ini, tapi Elang yang dulu tidak begitu, dan Bunga mungkin ... hanya ... tidak rela bahwa semua telah berubah.

Bunga tidak membalas pesan Una. Ia mengusap wajah dengan kedua tangan, memandangi kamarnya yang selalu rapi, berikut dengan meja kerjanya. Bunga sudah selesai menulis, membaca, dan melakukan segala hal yang perlu ia lakukan. Bunga tidak tahu lagi bagaimana cara untuk mengalihkan pikirannya dari kerumitan Elang.

Maka, dengan kepasrahan terakhirnya, Bunga mengirim satu pesan panjang.

Bunga: Elang, apa aku pernah minta banyak di hubungan kita ini? Apa aku pernah nuntut sesuatu dari kamu? Apa aku ada salah sampai kamu mendiamkan aku kayak gini? Sakit, Lang. Kalau memang bukan aku lagi yang ada di hati kamu, bukan aku lagi yang kamu perjuangkan, tolong katakan langsung kepada aku. Agar semuanya jelas. Dan kalau sampai sekarang pun kamu nggak membalas pesan aku, aku simpulkan bahwa ini akhir dari hubungan kita. Aku nggak akan kirim pesan padamu lagi. Untuk undangan Vira, terserah apa yang mau kamu lakukan, aku akan tetap datang.

Bunga memilih menonaktifkan ponselnya setelah itu. Ia benci melihat ponselnya dan menemukan tidak ada pesan apapun dari Elang. Lagipula, semua pekerjaannya sore ini sudah selesai.

Besok adalah hari Sabtu. Malamnya adalah resepsi pernikahan Vira. Bunga tetap menonaktifkan ponselnya hingga Sabtu tiba. Ia malah memilih menghabiskan waktu bersama orangtuanya. Makan bersama, bertiga. Mengobrol. Mengisi ruang kosong. Bunga bahkan memilih mewarnai buku gambar yang dulu sengaja ia beli untuk menghabiskan waktu.

"Una tanya ke Mama," sahut Mama tiba-tiba sambil mengernyitkan mata memandang layar ponsel yang dia beri jarak. "Hape kamu mati, Sayang?"

Bunga tengah memakan pancake ketiganya ketika menyahut. "Iya, Ma, kayaknya perlu diservis," sahut Bunga, berbohong. Akhir-akhir ini, Bunga banyak berbohong, untuk menutupi keadaan sebenarnya, untuk pura-pura bahwa ... semua baik-baik saja.

"Oh, gitu. Mungkin saran Mama buat punya dua hape bisa kamu realisasikan, Sayang."

"Iya, nanti aja. Bunga kalo udah sayang sama satu hal, nggak mau ganti-ganti, Ma."

Mama tertawa. "Kayak kamu sayang sama Elang, ya?"

Celetukan itu tentu membuat Bunga sejenak terdiam sebelum ia bersikap ceria seperti biasa. Mama tidak boleh sampai tahu. Mama hanya boleh tahu Bunga bahagia. Mama ... tidak perlu hatinya ikut patah karena Elang. Di mata Mama ... Elang akan selalu menjadi lelaki baik, karena semua fase ini sementara. Bunga yakin itu. Ia ingin meyakini itu.

DaydreamDove le storie prendono vita. Scoprilo ora