01

392 33 0
                                    

Thomas menatap cucu bungsunya dengan pandangan heran. Pasalnya anak yang biasanya menunduk tidak berani menatap siapapun, kini malah duduk selayaknya bangsawan yang dengan anggun memakan sarapannya seolah tak terganggu dengan tatapan heran dari Thomas dan keluarganya yang lain.

Sejak Jaegar turun dan bergabung di meja makan. Perhatian semua orang langsung teralihkan kepadanya.

Jaegar yang biasanya akan memakai pakaian kusutnya, sekarang ini terlihat tampan dengan balutan kaos oversize dan celana training panjang. Aroma maskulin juga menguar kuat dari tubuhnya. Tampilannya benar-benar sangat sempurna.

Thomas mengedipkan matanya cepat ketika tanpa sengaja matanya bersitatap dengan manik kelam milik Jaegar.

Ahh ini pertama kali Thomas menatap mata cucunya.

Dan...

Thomas dibuat merinding.

"Saya selesai." Ucap Jaegar formal tanpa nada.

Pemuda itu bangkit menyambar tas nya kemudian melenggang pergi dari ruang makan. Di tengah jalan, Jaegar mengambil kunci mobil yang sejak tadi dipegang oleh Loren, asistennya.

Hal itu tentu membuat semua orang merasa heran. Jaegar ini belum bisa mengendarai kendaraan. Karena penasaran, Thomas memilih bangkit meninggal sarapannya hanya untuk melihat cucu bungsunya.

Hal yang tak pernah dia lakukan.

Mereka juga tidak sadar bahwa sedari tadi mereka telah memusatkan perhatian mereka pada anak yang selama ini tak mereka anggap ada.

Termasuk Jonathan dan Helena, ayah dan kakak Jaegar itu terus memusatkan mata mereka ke arah si bungsu.

Thomas berdiri di balik jendela besar, menatap Jaegar yang tengah masuk ke dalam mobilnya diikuti oleh Loren yang duduk di samping kemudi.

Jaegar membawa mobilnya dengan baik, seolah dia sudah lama berkendara.

"Kakek, kau merasakannya?" Tanya seorang pemuda seumuran Jaegar.

Thomas menoleh menatap pemuda itu kemudian mengangguk, "Ya, dia bangkit." Balasnya.

Samael, cucu ke empat Thomas dari putra pertamanya, Dominic dan istrinya Celine. Dominic tinggal terpisah dari Thomas, namun Samael memilih menetap di kediaman Thomas sampai dia selesai kuliah. Begitu juga kakak keduanya, Julian, dia bekerja di kota ini dan memilih tinggal di kediaman kakeknya.

Sedangkan Eric, kakak pertamanya memilih tinggal di apartemen elite di pusat kota. Jauh dari sini.

Tak heran jika Samael tahu banyak tentang apa saja yang telah terjadi di rumah besar ini. Dia besar di sini.

•|•

Jaegar menatap lapangan luas kampusnya dari lantai lima. Berdiri di balik pembatas besi sambil menyesap rokoknya dalam-dalam. Menikmati bisikan angin yang membelai dirinya.

Ngomong-ngomong, rokok ini dia ambil dari Loren.

Kelasnya masih lama, namun Jaegar memilih datang lebih cepat. Ada banyak hal yang harus dia lakukan sekarang.

Setelah sadar bahwa dirinya kembali ke masa lalu, Jaegar juga menyadari bahwa sekarang ini dia tak punya apa-apa, selain uang yang berasal dari keluarganya. Itupun tak seberapa.

Bahkan sebetulnya, untuk biaya kuliahnya pun, Jaegar harus mengandalkan otak cerdasnya. Addison, keluarga yang terkenal memiliki banyak harta itu nyatanya tidak mau buang uang untuk membiayai Jaegar.

Ohh ya, Jaegar kan anak tak diinginkan.

Jaegar tertawa sinis setelahnya. Takdirnya benar-benar lucu bukan?

"Tuan muda."

Panggilan itu membuat Jaegar menoleh. Loren menunduk sebentar kemudian kembali berdiri tegap. Menatap tanpa ekspresi tuan mudanya yang asyik menghisap rokoknya.

Sejak kapan Jaegar merokok?

Soal asisten, setiap anak Addison memilikinya. Khusus untuk Jaegar, Loren mendapatkan gaji yang lebih tinggi dari yang lain. Karena...

Ahh dulu Jaegar ini anak yang sangat penakut dan pemalu, tentu mengurusnya tidaklah mudah.

Jaegar bersyukur karena Loren benar-benar tulus bersamanya.

Ngomong-ngomong soal gaji...

"Loren, bisa aku pinjam uang mu?" Tanya Jaegar tiba-tiba.

Loren menaikkan alisnya bingung, meski kemudian dia mengangguk tanpa ragu membuat Jaegar tersenyum puas.

"Aku butuh sekiranya nominal yang bisa menawar sebuah lahan dan biaya pembangunan." Ucap Jaegar santai karena dia yakin, Loren memilikinya berkali-kali lipat.

Sedangkan Loren mengerutkan keningnya merasa aneh dengan permintaan tuan mudanya. Bukan dia tidak mampu, hanya saja...untuk apa Jaegar butuh uang sebanyak itu?

"Baik, tuan muda."

Pada akhirnya, Loren hanya bisa menurut. Dia selalu mempercayai tuan mudanya. Tidak mungkin anak sebaik Jaegar akan membuang-buang uang banyak untuk hal tak berguna.

"Terimakasih, pulang dari sini, kita akan urus." Ucap Jaegar dengan kobaran semangat yang tercetak di matanya.

Diam-diam Loren tersenyum lega.

Loren merasa lega dengan perubahan Jaegar. Meski sesekali dia akan merasa merinding di beberapa situasi.

•|•

Samael menatap teman-temannya yang asyik berbincang. Awalnya dia tidak peduli, namun setelah mendengar nama adik sepupunya disebut, pemuda itu lantas memasang telinganya baik-baik.

"Lo lihat Jaegar tadi? Dia benar-benar terlihat berbeda." Seru Arsenna heboh.

"Eh iya! Biasanya kaya anak cupu kan? Tapi tadi behh kaya es kutub cuk! Mana ngeri lagi tatapannya!" Sambung Bara tak kalah hebohnya.

"Jaegar? Adik sepupunya Lo kan, Sam?" Tanya Riki pada Samael.

Samael mengangguk saja, nama Jaegar di sini hanya ada satu dan itu jelas Jaegar dari Addison, adik sepupunya.

"Tapi ada bagusnya, tak lihat-lihat, dia ga kelihatan nempel lagi sama duo caper kampus kita. Anak lain juga bilang kalau seharian ini Jaegar bareng asistennya terus." Ucap Arsenna.

Samael mengangguk membenarkan. Sejak dulu, dia tak pernah suka dengan Rio dan Wina, dua orang yang sering bersama Jaegar.

Tentu Samael dan teman-temannya juga tahu, apa tujuan duo caper kampus mereka itu mendekati Jaegar.

Apalagi jika bukan untuk memanfaatkannya?

Nama Addison tersemat kuat pada diri Jaegar. Belum lagi otak anak itu yang kelewat encer. Masalahnya, sepintar apapun Jaegar, dia ternyata hanyalah orang yang naif.

Mudah percaya dengan orang lain, gampang ditipu, dan polos.

"Gua harap ini jadi perubahan yang bagus buat dia." Gumam Samael namun masih bisa didengar teman-temannya. Mereka mengangguk setuju.

Jika orang-orang bertanya mengapa selama ini Addison bungkam saat salah satu keturunannya diperlakukan buruk.

Bukankah Jaegar hanya anak yang tak dianggap? Selain oleh orang tuanya, Thomas selaku kakeknya juga tak ingin tahu tentang apa saja yang anak itu alami.

Meski mungkin setelah ini, semua akan berbeda.

CLOSED DOOROnde as histórias ganham vida. Descobre agora