09

190 26 0
                                    

Setelah dua hari di rawat, Jaegar diperbolehkan pulang. Pagi ini dia akan pulang bersama dengan Loren. Awalnya Jonathan menawarkan diri, namun Jaegar menolaknya. Pemuda itu terlihat menjaga jarak dari Jonathan sejak malam di mana dia tersadar.

Jonathan mengerti itu, meski begitu dia tetap merasa sedih.

Loren berjalan di belakang Jaegar yang berjalan pelan. Sesekali Jaegar akan membalas sapaan orang lain padanya dengan senyum ramah. Sampai mereka tiba di halaman rumah sakit, di sana mobil Loren sudah menunggu.

"Ah ya, bagaimana perkembangan pembangunan mall?" Tanya Jaegar setelah dia duduk nyaman di kursi belakang.

"45% tuan muda, orang-orang yang anda sewa bekerja dengan baik selama ini." Jawab Loren.

Jaegar mengangguk kecil, semua hal sudah diurus sejak lama oleh Loren atas perintah Jaegar. Tinggal menunggu bangunan mall selesai dibangun, maka semua bisa berjalan.

Perkiraan waktu sekitar dua setengah bulan lagi maka mall itu siap dioperasikan.

Jaegar membuka ponselnya untuk melihat apakah dia punya pesan atau tidak. Keningnya berkerut ketika dia melihat banyaknya pesan yang dikirim dari kontak Lux.

Jaegar hanya membalas seadanya, mengatakan kondisinya sekarang dan akan sedang apa dirinya.

Tak butuh waktu lama, balasan dari seberang langsung muncul dengan cepat. Seolah Lux memang menunggu pesannya.

"Loren, mampir ke cafe dekat sekolah ku dulu." Ucap Jaegar yang langsung diangguki oleh Loren.

Mobil melesat cepat ke arah tujuan Jaegar. Sampai di sana suasana terlihat tak terlalu ramai karena ini memang masih jam sekolah dan kerja.

Jaegar masuk ke dalam dengan langkah pelan, pandangannya mengedar hingga dia menemukan punggung kokoh yang sangat dia kenal. Jaegar membawa langkahnya ke arah sana.

Jaegar duduk di depan Lux yang terlihat sedikit terkejut karena kedatangannya. Lux memasang wajah tenang dengan senyum lebar di bibirnya.

"Lama ga ketemu, Jae. Gua udah gatel pengen bahas ini!" Ucap Lux semangat.

Alis Jaegar terangkat sebelah, "Hal apa?" Tanyanya.

"Jesica, perempuan ini menawari gua sebuah kontrak hubungan dan dia menyebut nama Lo. Gua pengen nanya ini, Lo nyuruh dia ngelakuin itu?" Tanya Lux dengan ekspresi tenang.

Jaegar tak merubah ekspresi nya sama sekali, pemuda itu terlihat acuh tak acuh, "Ga juga, aku cuma nyuruh dia buat ngelakuin apapun buat menarik orang ke sisinya dengan syarat orang itu cukup mampu buat melindungi dia. So, dia milih kamu." Ungkap Jaegar dengan tenang.

"Melindungi? There's something between you?" Tanya Lux dengan ekspresi kurang mengerti.

"Maybe. Karirnya tahun ini akan dipertaruhkan. Aku bisa aja melindungi dia, tapi aku ga punya urusan lebih sama dia selain memastikan dia hidup dengan biak. Dia milih kamu, itu pilihan yang bagus. Kalau aku meminta mu melindunginya, kamu mau?"

Hening sejenak setelah Jaegar selesai berbicara. Lux terlihat tengah berpikir, apa untungnya dia melindungi perempuan asing itu? Dan dia masih belum mengerti kenapa Jaegar ingin melindunginya?

"Setuju atau tidaknya itu keputusan mu. Aku harus pulang sekarang," ucap Jaegar kemudian bangkit dari duduknya dan melangkah keluar.

Lux menahan lengan Jaegar membuat pemuda itu menoleh, namun belum sempat Lux mengeluarkan suaranya, Jaegar lebih dulu menyela seolah pemuda itu tahu apa yang hendak Lux bicarakan.

"Jangan terlalu ikut campur, aku sudah bilang, keputusan mu. Kalau kamu merasa rugi, tolak."

Setelahnya Jaegar benar-benar pergi.

•|•

Thomas tersenyum lebar menyambut kedatangan Jaegar. Pria itu berdiri di depan pintu utama dengan kedua tangannya yang dia masukkan ke dalam saku celana. Baskara berdiri tegak di belakangnya dengan sorot tajam.

Loren membukakan pintu untuk Jaegar, pria itu menenteng tas berisi pakaian Jaegar.

Jaegar menatap heran kakeknya yang terlihat santai berdiri di depan pintu. Apa pria itu tidak bekerja? Tidak biasanya.

"Sudah pulang, cucu ku?" Ucap Thomas dengan senyum lebarnya.

Jaegar bergidik ngeri, ada apa dengan kakeknya ini?! Kesurupan kah?

"Seperti yang kakek lihat." Balas Jaegar sambil tersenyum tipis. Pemuda itu bersikap baik untuk menghormati Thomas, tidak lebih.

Jaegar ingin langsung ke kamarnya, namun ucapan Thomas membuat langkahnya berhenti tepat di depan pria itu.

"Maafkan kakek, Jae. Kakek tau kesalahan kakek banyak, tapi...kakek minta maaf." Ucap Thomas pelan.

Jaegar terdiam sebentar sebelum tertawa kecil, pemuda itu menoleh ke arah Thomas dengan pandangan datar.

"Aku tidak marah, kakek. Tidak pernah. Tapi sungguh, aku tidak bisa mengenyahkan rasa sakit yang selalu kalian torehkan." Ucapnya tenang.

Jaegar tak ingin menunggu respon Thomas, pemuda itu langsung berlalu pergi dengan cepat. Bahkan dia mengusir Loren yang mengikuti langkahnya membuat pria itu berdiri diam di bawah tangga.

Thomas menatap punggung Jaegar yang menjauh dengan tatapan sendu. Di belakangnya Baskara menepuk pundaknya berharap dengan itu dia bisa membuat Thomas sedikit merasa lebih baik.

Di dalam kamarnya, Jaegar jatuh terduduk bersandar pada pintu. Pemuda itu menenggelamkan wajahnya pada lipatan lutut. Menangis tanpa suara...untuk pertama kalinya sejak dia kembali ke masa lalu.

Jaegar dulu tak pernah menangis sepedih apapun jalan yang harus dia lewati. Jaegar hanya akan diam dan menerima, menganggap bahwa itu semua tak ada apa-apa dibanding hal yang nanti akan dia dapatkan. Tapi bahkan sampai Jaegar mati pun, dia tidak mendapatkannya.

Jaegar hanya menginginkan satu hal.

Dia ingin hidup sebagai dirinya sendiri dan bahagia.

Banyak yang Jaegar sesali namun ingin keluar dari bayang-bayang Rio tidaklah mudah apalagi pria itu punya banyak tameng yang apabila Jaegar memilih melawan, dia hanya akan mati sia-sia.

Dengan kembalinya Jaegar ke masa lalu, dia berharap dia bisa memperbaiki takdirnya. Setidaknya dia tidak akan mati sendirian dalam keadaan menyedihkan.

"Aku hanya ingin mereka mendapatkan balasannya. Tapi setiap kali aku melakukannya, aku merasa tidak nyaman. Apakah aku salah...?" Gumamnya di sela-sela tangisnya.

Jaegar tidak berniat balas dendam, awalnya. Tapi mengingat perbuatan mereka di masa depan yang menghancurkannya hingga menjadi kepingan tak berguna, Jaegar merasa sakit yang teramat.

Di satu sisi dia hanya ingin hidup tenang, tapi di sisi lain, membiarkan mereka menikmati hidup mereka tanpa sedikitpun rasa bersalah membuat Jaegar marah.

Jaegar menggelengkan kepalanya, dia tidak tahu dirinya harus apa sekarang.

Rasanya apa yang dia lakukan selama ini hanya berakhir sia-sia. Toh setelah ini Jaegar hanya akan mati menyedihkan.

Loren yang mendengar isakan kecil dari dalam kamar tuan mudanya hanya mematung di depan pintu.

Untuk pertama kalinya, dia mendengar tuan mudanya menangis.

CLOSED DOORWhere stories live. Discover now