11

228 29 5
                                    

Jaegar melirik Loren yang acuh tak acuh di sudut kamarnya. Pria itu pura-pura tak melihat apa yang tengah tuan mudanya alami.

Sedangkan Jaegar sibuk mengontrol dirinya ketika melihat Jonathan bersikap selayaknya ayah padanya. Rasanya sesak sekali, Jaegar membenci ini.

Jonathan tidak mau peduli, dia terus berbicara sambil menyiapkan bubur instan untuk Jaegar makan. Setelah siap, Jonathan duduk dipinggir ranjang.

"Papa suapi ya?" Tawar Jonathan dengan nada bicara yang lebih lunak dari biasanya.

Kendati wajahnya masih datar, namun Jaegar bisa menatap binar gugup di manik hitam ayahnya.

"Papa kenapa? Papa sakit?" Tanya Jaegar membuat Jonathan memasang ekspresi bingung.

"Papa sehat." Jawab Jonathan.

Jaegar menghela napas, dia mengepalkan tangannya, "Papa ngapain ngelakuin ini? Kalau papa ga nyaman, mending ga usah, aku bisa makan sendiri, bisa ngurus diri aku sendiri, lagian ada Loren. Papa jangan memaksa diri papa buat perhatian ke aku, rasanya aneh." Ucapnya cepat namun masih bisa Jonathan mengerti.

Pria itu hanya diam, menunduk menatap bubur di tangannya. Jonathan paham mungkin Jaegar terkejut dengan sikapnya yang tiba-tiba. Tapi melihat putranya sakit sejak semalam, rasanya batin Jonathan begitu tersiksa.

"Maafin papa..." Ucap Jonathan pelan.

"Kemarin kakek, sekarang papa. Kalian itu sebenarnya kenapa sih?! Saat aku udah memutuskan ga berharap apa-apa lagi, kenapa kalian malah datang?! Kalian ga mikir kalau sikap kalian yang tiba-tiba ini malah semakin nyakitin aku...?!" Ungkap Jaegar dengan mata yang memanas.

Jonathan langsung menatap Jaegar, pria itu ingin mengucapkan sesuatu namun bibirnya terasa kelu. Pada akhirnya, Jonathan memilih keluar. Meninggalkan semangkuk bubur di atas nakas.

Jaegar menatap punggung Jonathan yang hilang dibalik pintu dengan tatapan sendu. Pemuda itu meringkuk memeluk dirinya sendiri. Perasaannya sakit.

Dulu, Jaegar memang selalu mengharapkan perhatian keluarganya. Tapi sekarang, untuk berharap begitu lagi rasanya terlalu menyakitkan.

Jaegar tidak mau jika nanti dia malah merasa semakin kecewa setelah memutuskan untuk menerima keluarganya sekarang.

Loren menatap punggung Jaegar dengan pandangan rumit. Pria itu memilih keluar, memberi waktu Jaegar untuk sendiri.

•|•

Thomas menatap kedatangan Jonathan yang terlihat berantakan. Di ruang santai ini hanya ada Thomas dan Samael, pemuda itu kebetulan sedang tidak ada kelas dan memiliki di rumah.

Jonathan duduk dengan lesu di samping Samael yang asyik memainkan gadget nya. Pemuda itu menoleh heran ketika melihat wajah murung pamannya.

"Ditolak lagi? Ahh mendekati anak mu itu kenapa susah sekali?" Ucap Thomas lesu.

Jonathan hanya melirik ayahnya, pria itu memilih memejamkan matanya. Kepalanya pusing memikirkan berbagai cara untuk mendekati putranya. Tapi tak ada satupun yang berhasil.

Samael sebenarnya kasihan melihat mereka, tapi ya bagaimana lagi, nasibnya juga nyaris sama di sini. Meski dia bisa berinteraksi biasa dengan Jaegar, tapi sepupunya itu tak sepenuhnya menurunkan kewaspadaannya.

"Bagaimana kabar Helena?" Tanya Thomas kemudian.

"Anak itu sering mengamuk dan berusaha menyakiti janinnya. Jika kondisi itu terus berlanjut, kemungkinan dia akan dikirim ke rumah sakit jiwa." Balas Jonathan acuh tak acuh.

Sedari dulu, Jonathan kurang menyukai putrinya yang semakin dewasa semakin mirip dengan mantan istrinya.

Jonathan sudah lama tidak mengetahui kabar mantan istrinya itu sejak terakhir dia menghubunginya hanya untuk meminta bantuan biaya pengobatan penyakitnya.

Yahh, mantan istrinya itu di diagnosa mengalami infeksi parah pada rahimnya. Jonathan tidak mau tahu apapun, karena itu tanpa berpikir dia langsung mengirimkan uang dalam jumlah cukup besar dengan harapan mantannya itu tidak akan menghubunginya lagi.

Jonathan menghela napasnya, "Aku tidak tahu harus dengan cara apalagi agar anak ku luluh." Ucapnya.

Thomas melirik putranya, "Kau bukan ayah yang baik, Jo." Ungkapnya dingin.

"Kau pun sama saja, ayah." Balas Jonathan dengan senyum miringnya.

Thomas berdecak dibuatnya, mau dibalas tapi apa yang dikatakan Jonathan memang benar adanya. Thomas sejauh ini belum bisa menjadi ayah yang baik untuk anak-anaknya dan dia juga bukanlah kakek yang baik untuk cucu-cucunya.

Samael menghela napas, merasa bosan mendengar suara paman dan kakeknya. Pemuda itu memilih naik ke atas meninggalkan Jonathan dan Thomas yang malah adu mulut.

Begitu melewati kamar Jaegar, Samael berhenti sejenak. Ada perasaan ragu, apakah dia harus masuk atau tetap bersikap acuh?

Namun pada akhirnya, kakinya melangkah masuk ke dalam kamar minimalis milik Jaegar. Tak ada banyak barang di dalam sini.

Sedangkan pemiliknya sedang sibuk merajut mimpi dengan posisi miring menghadap dinding. Mengabaikan makanan yang masih utuh di atas meja kecil sambil ranjang.

Samael mendekat, berdiri di samping ranjang dengan pandangan rumit.

"Sejujurnya aku pun tak tahu ada apa dengan mereka. Tapi percayalah, om Jo sebetulnya sangat menyayangi mu, Jae." Ucapnya pelan.

Samael berani mengatakannya karena dia sering mendapati Jonathan menyuruh anak buahnya untuk mengawasi Jaegar. Jonathan itu kaku dan kasar. Semua orang sudah tahu itu.

Tapi dibalik itu semua, dia sangat peduli.

Samael memilih keluar, rasanya aneh jika dia lama-lama di sana sedangkan pemiliknya sedang sibuk tidur. Lagipula jika Jaegar bangun, apa yang harus dia lakukan? Mereka tak sedekat itu.

Samael hanya tak tahu jika Jaegar belum tidur, pemuda itu mendengar jelas kalimat yang diucapkan Samael tadi.

Tapi Jaegar hanya diam, wajahnya datar tanpa ekspresi. Entahlah, rasanya perkataan itu tak memberi efek apa-apa selain rasa sesak yang semakin membuatnya kesulitan bernapas.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 02 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

CLOSED DOORWhere stories live. Discover now