08

225 30 1
                                    

Sudah seminggu ini kediaman Addison terlihat tenang dan damai. Selepas Helena dikirim keluar kota, semua orang kembali disibukkan dengan pekerjaan mereka.

Thomas sendiri tengah berusaha mati-matian mengembalikan kolega-kolega bisnisnya yang hendak mundur dari kerja sama karena kasus Helena.

Agaknya pria paruh itu berhasil menahan mereka dengan perjanjian baru. Jaegar tidak mau tahu apa yang kakeknya janjikan untuk menahan mereka.

Sedangkan untuk Jonathan, pria itu juga sibuk sendiri di kantornya. Jarang sekali pulang. Paling-paling hanya untuk mengambil pakaian ganti atau berkas pekerjaannya.

Intinya, semua orang terlihat sibuk. Entah benar-benar sibuk atau hanya berusaha menyibukkan diri mereka.

Jaegar tidak mau tahu.

Seminggu ini, dia menjalani harinya dengan tenang. Jaegar tidak melakukan apapun. Dia benar-benar hidup seperti mahasiswa pada umumnya. Datang ke kelas, mengerjakan tugas, keluar mencari angin.

Loren sendiri dibuat bingung dengan sifat tuan mudanya yang mendadak anteng.

Sedangkan Jaegar tidak mau peduli, pemuda itu sedang ingin menghela napas sejenak.

Malam ini, tak seperti biasa, Jaegar melarang Loren untuk masuk ke dalam kamarnya. Pemuda itu sedang tiduran di atas ranjangnya, membiarkan komputernya menyala sejak satu jam lalu.

Keningnya berkerut dalam tanda bahwa Jaegar sedang berpikir cukup keras.

Pemuda itu menghela napasnya panjang, memejamkan matanya sebentar sebelum bangkit dan kembali duduk diam di depan komputernya.

Jemarinya kembali lincah memainkan keyboard, menciptakan huruf demi huruf di atas layar kosong.

Satu minggu sudah cukup untuk memberi mereka jeda. Jaegar tidak mau menunda lagi. Meski sebenarnya dia lebih ingin menghancurkan mereka ketika mereka berada di puncak. Namun agaknya, beberapa hari ini rencana Jaegar sedikit banyak dia rubah.

Jemarinya berhenti bergerak, layar komputer itu tak lama menampilkan beberapa data yang Jaegar butuhkan.

Tes

Tes

Jaegar terpaku sejenak ketika dirinya merasa sesuatu mengalir dari hidungnya. Dengan cekatan Jaegar menyambar tisu kemudian mengelap hidungnya dengan posisi menunduk, membiarkan darah yang keluar dari hidungnya mengalir bebas mengotori keyboard miliknya.

Setelah darah berhenti keluar, Jaegar menghela napas. Melirik setumpuk tisu bekas yang berwarna merah.

Ini bukan hal baik untuknya dan Jaegar cukup dibuat terkejut karena hal ini tidak terjadi di hidupnya dulu.

Namun Jaegar tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang serius. Bagi Jaegar, melihat mereka menerima akibat dari perbuatan mereka dulu, itu sudah cukup. Perihal dirinya akan terus hidup atau tiba-tiba mati di tengah jalan, Jaegar tidak masalah.

Yang harus dia bereskan sekarang adalah keluarganya dan Rio. Mereka adalah sumber kesakitannya di masa depan.

Jaegar tertawa pelan, matanya menerawang jauh ke depan.

•|•

Loren tidak bisa untuk tidak terkejut pagi ini. Pasalnya, setelah semalaman di larang masuk ke dalam kamar Jaegar. Pagi ini tuan mudanya itu masih bergelung dengan selimutnya. Hal yang tak biasa.

Jam sudah menunjukkan waktu sarapan, pastinya semua orang sudah menunggu di ruang makan. Tetapi Jaegar masih terpejam damai di ranjang besarnya.

Maka Loren memutuskan mendekat dan mengguncang pelan badan Jaegar berharap pemuda itu segera bangun. Namun harapannya pupus, mata Loren membelalak melihat noda merah yang sudah mengering di atas bantal tuan mudanya juga di sekitar wajahnya.

CLOSED DOORWhere stories live. Discover now