Ketenangannya

126 20 0
                                    

Tembus 874 Kata

°•°•°

Jimin melenguh, merasakan ketidaknyamanan yang menyambangi seluruh bagian tubuhnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Jimin melenguh, merasakan ketidaknyamanan yang menyambangi seluruh bagian tubuhnya. Kepalanya terasa pening dan berat, napasnya masih sulit untuk ditarik leluasa, meski tidak separah sebelumnya yang seperti hampir mati rasanya.

Tidak ada siapapun yang Jimin dapati, diruangan yang cukup luas dengan nuansa putih yang kental juga bau obat menyeruak. Ia sendirian, tidak ada siapa-siapa.

'Menyedihkan.' Jimin bukan cuma merasa sepertinya, tapi ia memang sebatangkara. Tidak ada yang menunggunya, menantinya, atau harap-harap cemas ia masih hidup atau tidak. Intinya, tidak ada kepedulian.

Tidak ada artinya ia bertahan atau tidak.

Lalu Jimin tersentak kaget saat suara nyaring menyambangi telinganya, "Gila kau ternyata. Kau ini Ayahnya, kau Ayah Jimin. Wajar buatku kalau tidak tahu soal alerginya, aku Ibu sambungnya."

Suaranya berasal dari luar, suara Ibunya Taehyung, "Tapi kau, Kau Ayah kandungnya Jimin. Bagaimana bisa tidak tahu, bahkan kau sendiri yang membeli kue itu. Kau ingin membunuhnya, Huh! Min-Seok jangan diam saja!"

"Aku lupa, Ji-Won. Aku lupa! Wajar saja, aku juga manusia. Bagaimana hal sekecil itu bisa aku ingat terus."

Jimin memejamkan matanya, suara Ayahnya tidak pernah masuk dengan damai ke telinganya. Selalu saja mengantarkan rasa nyeri yang tidak bisa ditahan.

"Hal kecil? Kau bilang hal kecil. Jimin hampir mati, dan kau bilang hal kecil! Sudah tidak waras kau rupanya."

"Buktinya dia tidak mati Ji-Won. Kau dengar sendiri, Dokter bilang yang tadi itu tidak terlalu fatal. Jadi jangan membesar-besarkan masalah kecil."

"Bisa-bisan—"

"Ayah! Ibu!" Kali ini suara Taehyung. Dia akan jadi penengah, Jimin bisa menebak itu. Tapi kata selanjutnya yang harusnya bisa Jimin dengar, ternyata hanya samar. Mungkin Taehyung bicaranya tidak setinggi nada Ayah dan Ibu.

Selanjutnya yang Jimin dengar, justru suara pintu yang terbuka. Buru-buru Jimin menutup matanya, pendengarannya jadi menajam. Bunyi gesekan bantalan kaki kursi terdengar, mungkin Taehyung sudah ada disampingnya.

"Masih sesak ya, Jimin-ah." Gerak napas Jimin dimata Taehyung masih belum seperti biasanya, 'Pasti sakit sekali ya Jim.'

Tidak akan pernah Taehyung lupa bagaimana buruknya Jimin yang berusaha mempertahankan napasnya sendiri dengan sudah payah. Itu baru sesuap yang Jimin makan, Taehyung tidak tahu bagaimana jadinya kalau Jimin menelannya terlalu banyak. Demi Tuhan, meski bukan saudara kandung, Taehyung tidak akan pernah siap kehilangan Jimin.

Tanpa JedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang