Bab 04

362 41 129
                                    

Cuaca pada pagi hari ini memang begitu cerah, namun tidak untuk suasana hati Sasya. Lihatlah kondisi Sasya sekarang, tampangnya sudah persis zombie. Wajah pucat, rambutnya berantakkan, langkah gontai, intinya ia sama sekali tidak mempunyai semangat. Siapapun yang melihat Sasya dapat menebak bahwa ia sedang tidak baik-baik saja.

Entah kemana perginya semua keceriaan Sasya. Sasya mengerucutkan bibirnya, berulang kali ia menghela napas berat. Bagi Sasya, rutinitas yang ia lakukan sekarang jauh dari kata normal untuknya. Sasya tidak terbiasa.

Sasya memegangi lehernya. Tubuhnya terasa pegal-pegal sebab tidur di kasur lipat yang tipis. Meskipun jiwa Sasya berada di raga Agam, tetap saja Sasya terbiasa tidur di kasur empuk miliknya. 

Sasya berjalan memasuki gerbang sekolah dengan wajah murung. Sasya merutuki kesialan yang menimpanya. Mengapa harus Sasya yang mengalami ini semua?

"Motor bututnya mana?!" jerit seorang gadis---melambaikan tangannya di udara yang sedang dibonceng pria tampan menaiki motor sport.

Sasya yang sedari tadi menunduk pun mengarahkan pandangannya ke sumber suara.

"Sepupu kampret," decih Sasya.

Sasya sering menghina motor usang peninggalan mendiang Bambang---ayah Agam. Juga, itulah alasan Sasya tidak mau diantar-jemput oleh Agam sebab ia malu menaiki motor yang katanya, 'butut' itu. Dan kini, dunia seakan sudah berbalik. Agam membalas ejekan yang Sasya lontarkan sebelumnya. Anehnya, Sasya kesal.

Kekesalan Sasya telah menjalar ke ubun-ubun. Ditambah lagi senyuman yang terpancar dari wajah Agam---bukan, lebih tepatnya wajah Sasya. Mengapa Sasya merasa wajahnya sendiri terasa sangat menjengkelkan.

Sasya berdiam diri cukup lama. Menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong. Ia teringat jawaban Vidya tentang pertanyaan yang membuat Sasya penasaran. Sasya berpikir, jika ia tau seseorang yang membawa Sasya dan Agam ke rumah sakit. Sasya akan lebih dekat ke tujuannya untuk mengembalikan jiwanya dan Agam ke raga yang benar.

Ternyata, semua itu tidak segampang teorinya.

"Gimana caranya kemarin pas pingsan, aku sama Sasya bisa ke rumah sakit? Siapa yang bawa dan nemuin kami di gang?" tanya Sasya penuh harap.

Vidya menggelengkan kepalanya acuh, "Tante Dania yang tau," datar Vidya.

Jika melihat Vidya, Sasya merasa begitu beruntung memiliki Bundanya. Ah, Sasya merindukan Dania. Apakah Bunda dan Papanya Sasya juga merindukannya?

"Orang tua macam apa itu? Sama sekali nggak peduli sama anaknya. Kan bisa tanya, atau nggak, terima kasih kek buat yang udah nolongin. Nggak patut dicontoh!!" gerutu Sasya tertuju pada Vidya---mama Agam yang menurut Sasya kurang peduli sebagai orang tua.

"Yuuhuu Agam, matanya itu kenapa? habis disengat lebah?" ejek Agam.

Sasya tersadar dari lamunannya. Kemudian, memalingkan wajahnya sembari memegang matanya yang masih bengkak.

"Agg---"

"Apa??" potong Agam.

"Sasya." Sasya membenarkan. "Emang ada masalah kalau aku nangis?" protes Sasya.

"Cowok kok cengeng," cibir Kaivan yang berada di samping Agam.

Agam tertawa, memberikan dua jempolnya tanda ia setuju. "Cowok kok cengeng," ulang Agam bermaksud menyindir Sasya.

"Ngapain kalian ngumpul di depan sini?" Adnan yang baru datang menautkan alisnya.

"Bangggg," rengek Sasya.

"Jijik," umpat Adnan tak suka dengan nada bicara Agam.

Adnan dan Kaivan kegelian sendiri melihat ekspresi Agam, pasalnya Agam yang mereka kenal sangatlah manly---cowok banget.

Rasakanlah!Where stories live. Discover now