Bab 20

116 8 0
                                    

Apalagi yang Agam inginkan?

Agam telah mendapatkan kasih sayang yang berlebih dari keluarga dari pihak Ayahnya. Uang pun bukan hal yang harus dipikirkan, dalam artian, kini ia tidak perlu lagi bekerja. Kehidupannya benar-benar sudah mendekati sempurna, sama seperti yang selalu ia harapkan.

Bukankah menjadi Sasya adalah salah satu impian Agam? Namun, mengapa hatinya malah terasa hambar?

Sekitar sepuluh menit, Agam berdiri di depan sebuah rumah yang lumayan dikategorikan kumuh. Beruntungnya pintu berwarna cokelat itu masih terbuka lebar. Agam pun semakin leluasa mengamati Sasya dan si kembar sedang bermain robot-robotan yang pernah ia belikan beberapa waktu lalu.

"Cuaca mendung gini paling enak makan ubi goreng!! Mama tauuu ajaaa, kesukaannya aku!!" pekik Sasya antusias kala Mama Agam menyuguhkan gorengan ubi kepada tiga anaknya di piring yang terbuat dari plastik.

Suara tawa Vidya, Owan, dan Owen membuat Agam semakin merindukan sosok mereka. Penuh keceriaan meskipun hidup sederhana.

Agam juga merindukan rutinitas lamanya. Meskipun melelahkan, itu semua terbayarkan bila berada di dekat keluarganya.

Kini, Agam merasa telah jauh dari mereka.

Semua ini terjadi karena keegoisannya. Keputusan Agam tidak hanya menyakiti Sasya, namun juga dirinya sendiri.

Agam mengaku salah sebab mempertahankan kondisi dimana jiwanya dengan Sasya tidak sengaja tertukar---demi keuntungannya sendiri.

Agam membuka tas ranselnya dan mencari benda pipih yang baru saja berdering. Ia membaca nama, 'Bora' yang tertera di layar utama. Tanpa berpikir, Agam pun segera menggeser tombol berwarna hijau tersebut.

"Halo?"

"Bora? Ada apa?" tanya Agam.

Sungguh aneh, Bora yang tiba-tiba lebih dahulu menghubungi Agam.

"Aku mau nagih utang kamu sama aku."

Pelipis Agam berkerut. "Utang?" Seingatnya, ia tidak pernah meminjam uang dari siapapun. Jadi, sebenarnya apa yang Bora tagih?

"Kamu bilang mau nyeritain pertemuan pertama kita, terus nggak jadi karena guru masuk. Berarti, kamu ada utang penjelasan."

Lantas, Agam tersenyum mendengar penuturan sang gebetan di balik telepon. Ia tidak menyangka bahwa Bora masih memikirkan ucapannya saat di sekolah. Agam begitu bahagia dengan hal kecil yang dilakukan Bora, walaupun gadis ramah itu tidak sadari.

"Kamu nggak ke mana-manakan? Aku mau ke rumah kamu," cetus Agam.

"Emangnya kamu lagi di mana?"

"Aku lagi di luar... udah dulu ya Bora. Aku jalan sekarang." Agam mematikan sambungan telepon. Lalu, kembali memasukkan ponsel ke dalam tas ransel agar bisa segera menemui cinta pertamanya.

Sebelum melangkah pergi, Agam masih menyempatkan memandangi keluarganya yang tampak harmonis tanpa dirinya.

Semenjak kehadiran Sasya, rumah Agam menjadi lebih berwarna dan ramai sebab ia merupakan sumber kehebohan. Ditambah pertengkaran Sasya dengan si kembar---tidak ada yang mau mengalah sebelum Vidya datang.

Memang cocok sekali, bisa dibayangkan Sasya yang tingkahnya mirip anak kecil disatukan dengan dua anak kelas 1 SD.

Di lain tempat, Sasya menyundulkan kepalanya ke luar pintu sambil memajukan bibirnya. Tidak ada siapapun. Apa mungkin, Sasya sedang berhalusinasi? Mengapa Sasya sekilas melihat kedatangan Agam?

"Kenapa Bang Agam?" tanya Owan dan Owen serempak.

Sasya bergeleng, kemudian duduk di samping si kembar. "Aku kebanyakan halu."

Rasakanlah!Where stories live. Discover now