Bab 27

32 6 0
                                    

Sudah dari semalam Sasya belajar mengkontrol ekspresinya. Namun, ia benar-benar tidak bisa memaksa tersenyum penuh kebohongan. Sebab Sasya memang sedang tidak bahagia!

"Kalau nggak baik-baik aja ya nggak baik-baik aja, kenapa aku harus pura-pura?"

Perasaannya campur aduk. Mungkin, sejak Bora dan Agam memberitahunya permasalahan kemarin, Sasya galaunya berkepanjangan.

Bahkan, di sekolah saja Sasya lebih banyak murung. Tidak seceria biasanya. Juga, ia membatalkan janjian makan mie bakso bersama Niko. Sasya membutuhkan lebih banyak waktu untuk berpikir sendirian.

Contohnya, saat ini Sasya tiduran di kasur milik si kembar, karena dua bocah itu pergi menonton tv di rumah tetangga. Di rumah Agam, ada sebuah tv namun telah lama rusak dan tidak bisa digunakan lagi. Rencananya akan di jual rongsokan. Sementara Vidya sedang bekerja di rumah makan.

"Apa sebenarnya yang Varen tau tentang Agam dan Aku?"

Sasya mencoba memancing kejujuran Varen kala di sekolah tadi, tetapi Varen sama sekali tidak mengatakan apapun.

Jujur, Sasya kecewa pada Varen.

"Bisa nggak ke depannya kamu jangan bohongin aku, Varen. Kamu tuh teman yang paling aku percaya," batin Sasya sedih.

Sampai detik ini, Sasya belum mempunyai keberanian menanyai Varen secara langsung. Entah harus berapa banyak keberanian lagi yang Sasya kumpulkan, barulah ia bisa dengan penuh keyakinan berdiri di hadapan Varen.

Agam : Sya, udah tanyain?

Sasya enggan membalas pesan yang berasal dari Agam. Pasalnya, itu adalah pertanyaan sepupunya tersebut yang ke sepuluh kalinya.

Sasya bosan sekali.

Bora : Jawabannya Varen apa, Sya?

Kalau bukan mengingat dirinya yang tidak sanggup membeli ponsel baru, rasanya ingin ia banting benda pipih milik Agam ini!

"Bora yang sekarang mirip banget sama Agam, semoga aja jodoh mereka. Sama-sama ngeselin!!"

Sasya tidak tenang, ia pun menelepon Bora. Tidak sampai tiga detik, panggilan tersebut telah terhubung. "Bora? Aku belum bisa nanyain, Alam mau pindah hari ini... kamu taukan? Aku cuman nggak mau bahas masalah ini dulu. Besok yaa, kita bicarain lagi," cerocos Sasya.

"Oh iya, sekalian kamu bilang tuh sama Agam. Jangan teror aku terus. Kalau nggak nanti nomornya bakal aku blok!!

"Ini... aku, Sya," ujar Agam.

"Loh, hpnya Bora kok sama kamu?" heran Sasya.

"Maaf, Sya! Aku lagi nyuci piring!" Sasya mendengar pekikan Bora di ujung telepon.

"Ya udah, Gam. Bye!" Sasya mematikan sambungan secara sepihak.

Sepertinya, Agam dan Bora semakin hari bertambah lengket terus. Mereka juga sering menghabiskan waktu bersama. Sasya mungkin tidak terlalu pintar, tetapi ia seratus persen yakin bila dua remaja tersebut bukan murni berteman.

"Pasti ada sesuatu..." curiga Sasya.

Sasya mendengus sebal. Kepalanya terasa pusing. Namun, apa yang sebenarnya ia pikiran? Mungkin sangking banyaknya, Sasya sampai bingung sendiri.

Namun, kata menyerah tidak akan pernah ada di hidup Sasya, mau seberat apapun beban dan cobaan. Kejadiannya yang hampir nekat di jembatan gantung, ia bisa memastikan hal itu hanya ada sekali.

Agam : Cuman mau ingatin sekali lagi
Agam : Bus Kak Lastri berangkat jam tiga

Sasya belum menyerah.

Rasakanlah!Where stories live. Discover now