DUA : Sudah Besar, Ya.

15.2K 283 6
                                    

"Ini naksir itu,
itu naksir anu."

🔞🔞

Ketika berada di meja makan, aku hanya tahu tentang makanan Tante Alana akan selalu terasa enak. Juga dengan dua pemandangan pria dewasa yang wajahnya mirip ikut mendominasi tempat ini.

Pertama, Om Laksmada. Sekali lagi aku akan menyebutkan, beliau ini merupakan suami dari Tante Alana. Orang yang sampai detik ini tidak bisa akrab denganku, dia cuek dan juga tegas. Dia menganggapku anak kecil, lantaran aku menganggapnya sebagai sosok pria yang menarik. Maka dari itu, aku selalu menguji kesabarannya dengan kelakuan kurang ajar yang merujuk ke hal sensual.

Melihat bagaimana kebodoamatannya yang sangat kental pagi ini, aku semakin yakin kalau yang terjadi semalam hanyalah mimpi. Bahkan Om Laksmada lebih tertarik menatap nasi goreng di piringnya ketimbang aku yang sudah jadi lebih montok ketika mengenakan seragam sekolah.

Kecuali kalau yang melakukannya adalah Om Lukas, kembaran Om Laksmada. Dia masih belum beristri dan jauh lebih akrab denganku. Bahkan sekarang dia tersenyum ketika kami berpandangan, hanya saja apa yang terjadi di antara kami berdua sudah seperti kakak beradik, jadi kupikir tidak mungkin hal itu terjadi kecuali jika memang benar-benar mimpi.

Maksudku kejadian semalam, setelah di mana ponselku secara ajaib hilang dan tak ditemukan sampai detik ini. "Siapa yang nganterin aku?" Lalu aku teringat untuk menyampaikan pertanyaan langganan kepada mereka berdua.

Om Laksmada dan Om Lukas pun jadi saling tatap.

"Om ada rapat pagi," kata Om Lukas.

"Saya ada kelas pagi." Begitu juga Om Laksmada yang tiba-tiba bilang begitu juga.

Masalahnya, aku meragukan hal itu. "Ah, Om Laksma enggak usah ikut-ikutan deh, bohong, 'kan?" tuduhku.

"Iya," katanya.

Mulutku terbuka sedikit, andai kata dia adalah kue ulang tahun, sudah kupotong-potong jadi puluhan bagian. "Kenapa sih, Om?" tanyaku.

"Ya karena saya emang enggak mau nganterin kamu."

"Cuma nganterin, Om. Enggak seberapa juga, beda kalo kuminta anterin ke provinsi sebelah," ujarku yang membuat Om Lukas tertawa.

"Ya sudah sama Om aja." Akhirnya Om Lukas yang mengalah, dan aku cuma memanyunkan bibir. "Lu juga kenapa sih? Kayak anti begitu sama Aretta?" tanyanya kepada Om Laksmada.

"Tau. Kayak bakal aku panggang aja," sambungku.

"Kamu itu enggak punya etika, saya enggak suka," sahut Om Laksmada.

"Lah lah?" sulutku seakan tak menerima apa yang barusan dikatakannya.

Lalu terlihat Om Laksmada mengulurkan telunjuk padaku. "Seragam kamu itu sudah kekecilan, mana ada anak sekolahan pakai baju ketat kayak gitu," ujarnya.

Mungkin inikah alasan Om Laksmada enggan menatapku?

"Apa kamu enggak punya baju lain?" Dia tanya lagi.

"Punya."

"Pakai dengan yang lebih besar."

"Dih apa yang salah? Ukuran seragamku memang kayak gini. Susu aku aja yang gede."

"Mulut kamu, Aretta!" Nah dia membentakku lagi, sedangkan Om Lukas tertawa-tawa.

"Rutin diremes ya?" tanya Om Lukas.

"Mulut kamu, Lukas!" Sekarang Om Laksmada menegur kembarannya juga, tapi yang ada aku dan Om Lukas semakin tertawa.

"Kenapa sih ramenya?" Tante Alana datang bersama minuman favorit kami masing-masing.

OM LAKSMADA Where stories live. Discover now