LIMA : Di Dapur

12.7K 240 52
                                    

Seperti biasanya, makan kalau saat pagi itu cuma diisi oleh tiga orang. Yaitu aku, Om Laksmada dan Om Lukas. Sementara Tante Alana tidak biasa sarapan, jadi dia akan sering meninggalkan kami dan fokus berberes di dapur.

Pagi ini, tidak ada air susu untuk Om Laksmada. Tante Alana mengaku lupa untuk membelinya, jadi terpaksa Om Laksmada minum teh sepertiku. Soalnya dia tidak seperti Om Lukas yang pecinta kopi.

"Om enggak bisa nganter hari ini, ada kerjaan pagi-pagi banget," kata Om Lukas.

Aku pun menatap Om Laksmada yang sejak tadi seakan menghindari pandangan mata denganku.

"Lu bisa nganter nih bocah, 'kan?" tanya Om Lukas.

Terlihat Om Laksmada mengangguk tanpa suara. Tumben sekali, biasanya dia akan mencari banyak sekali alasan untuk menolak. Namun mengingat kalau dia bilang aku tidak boleh banyak bergaul dengan Om Lukas, mungkin itu menjadi salah satu keterpaksaannya pagi ini.

"Saya tunggu di mobil," katanya.

Tante Alana yang sedang membawa kumpulan baju kotor berhenti untuk menepuk pundak Om Laksmada. "Hati-hati," katanya, "Kalau Aretta ngeselin, tinggal aja di pinggir jalan."

"Buset, Tan," kagetku.

Om Laksmada terlihat berdiri, lalu mengecup bibir Tante Alana dengan singkat.

AH, SUDAH BIASA SIH!

Aku tidak kaget lagi lihat itu, memang setiap sebelum berpisah mereka akan melakukannya. Jadi aku dan Om Lukas hanya bisa saling lirik dengan isi pikiran kami masing-masing. Kutebak, dia pasti cemburu. Kan kemarin mengaku suka sama Tante Alana.

Bodoh! Sudah tahu juga bersuami, memang siapa yang mau melepaskan Om Laksmada? Aku saja kalau boleh bertukar posisi mau-mau saja jadi istrinya.

"Aku berangkat juga," kataku setelah Om Laksmada sudah jalan lebih dulu.

"Hm. Belajar bener-bener!" kata Tante Alana setelah aku mencium tangannya untuk berpamitan, lalu mengejar langkah Om Laksmada yang sudah hilang keluar sana.

Tanpa minta disuruh masuk, aku membuka pintu mobil sendiri untuk duduk di sebelahnya. "Duduk di belakang." Tiba-tiba dia menghentikanku.

"Kenapa? Emang Om supir aku?"

"Anggap begitu juga enggak masalah."

"Dih, enggak mau!" Aku tetap masuk dan menutup pintu mobil, terlihat Om Laksmada sudah kehabisan kata-kata menceramahiku.

Perjalanan kami pun dimulai, tanpa ada percakapan mengasyikan yang biasanya bisa saja muncul di otakku dengan cemerlang. Sebab aku sedang memikirkan cara merayunya untuk mengembalikan ponselku, hidup tanpa ponsel seperti orang zaman batu, aku tidak tahan.

"Om, ponselku bisa di ...."

"Enggak bisa." Baru saja mulai, dia sudah menolak.

"Mana ada anak zaman sekarang yang enggak punya ponsel," aduku.

"Biar saja, kamu harus fokus belajar."

"Mana bisa fokus."

"Bisa. Entah besok, lusa atau hari-hari selanjutnya. Kamu bakal fokus."

Aku menghela napas sambil memijat dahi. "Kalo Om enggak kembaliin, aku bakal ngadu ke Tante Alana soal kemarin," kataku.

Terlihat raut Om Laksamada mulai kesal. "Kamu bilang kalau saya obatin susu kamu, kamu janji enggak bakal bilang ...."

"Sudah ganti, sekarang balikin dulu ponselku. Atau aku bakal bilang kalo kemarin Om mainin susuku, ngemut di susuku, bahkan gesek-gesek ....."

"Aretta, tolong. Tolong kali ini saja, jangan membangkang apa enggak bisa kamu ...."

OM LAKSMADA Where stories live. Discover now