DUA PULUH DELAPAN : Perlahan Saja

1.3K 106 8
                                    

Lumayan isi galerinya
bisa jadi bahan ngocok

🔞🔞

Ini yang baru sejak beberapa hari terakhir. Aku diperhatikan secara habis-habisan oleh Om Laksmada.

Kamarku tidak serba ungu, sebab sekarang sudah berganti jadi warna merah muda, bonus dengan printilan kecil seperti boneka-bonekaan jumbo yang terletak di sebelahku. Hingga jikalau waktu tidur tiba, aku tidak merasa sendirian.

Setiap pulang dari Universitas, Om Laksmada bawa martabak. Dia juga tidak melarangku main di dapur, katanya aku boleh memasak apa saja di sana. Alhasil kalau sarapan, makan siang (opsional), dan juga makan malam adalah hasil mahakaryaku di dapur. Om Laksmada cuma menyediakan barang keperluan saja di situ, sedangkan selanjutnya terserah aku.

Ada banyak hal baru yang kulakukan dengan perasaan senang, bahkan aku menikmatinya. Aku seperti merasa benar-benar hidup, merasa dicintai, dan juga merasa punya tujuan hari yang indah untuk kulakukan secara rutin.

Meski yang statis adalah bagaimana aku selalu membuat Om Laksmada kesal, mungkin untuk hal-hal tak berguna yang wajar, di mana dia memang akan selalu menasehatiku kalau ada yang salah.

Omong-omong, Om Laksmada belum pulang sampai sekarang. Padahal sudah jam sepuluh malam, dan aku tak tenang kalau dia belum di rumah. Maka dari itu, aku menunggu di ruang tengah, dengan televisi yang menyala sedang menayangkan film Minions di sana.

"Goblok, haha!" Kalau lihat kelakuan si Kuning kepada tuannya, aku merasa hiburan ini cukup seru untuk ditonton.

"Aretta?" Tak lama suara Om Laksmada terdengar, aku bangkit dan berbalik ke arahnya. "Kenapa belum tidur  ...."

"Om dari mana aja?" Aku segera mendatanginya. "Aku ada kirim pesan, tapi enggak dibalas," sambungku.

"Oh? Saya ada rapat persiapan akreditasi," jawabnya.

Aku menatap wajah pria itu dan membiarkan sesuatu yang berbunga-bunga menyeruak di hatiku, rasanya menyenangkan. "Sudah makan?" tanyaku.

"Kamu belum?" Dia tanya balik dan memulai langkah.

"Aku nungguin," kataku.

Om Laksmada meletakkan tasnya di atas sofa, lalu dia menepuk bahuku dan bilang, "Ya sudah saya temani."

Aku tersenyum lebar dan berlari lebih dulu ke meja makan, sedangkan Om Laksmada santai saja sampai dia duduk di seberangku. "Saya bisa makan sedikit lagi," katanya.

Jadi piring makan di atas meja tetap terisi dua-duanya, porsi miliknya memang lebih sedikit, tapi kemungkinan tetap aku yang cepat habis karena aku makan seperti sapi.

"Om tau, aku kesusahan motong ayam ini tadi," ujarku, sambil mengangkat paha ayam yang sudah digoreng.

"Astaga. Saya lupa memotongnya buat kamu," sahut Om Laksmada.

"Iya, dan  ... ini jari telunjukku diperban." Aku mengangkat bagian jari di tangan kiri, sudah terperban rapi di situ. Tapi sepertinya Om Laksmada tetap kaget meski tahu aku baik-baik saja.

"Kenapa enggak bilang?" Dia bahkan beranjak dari duduknya dan berjongkok di sebelahku. "Besar?" tanyanya sambil memegang tanganku.

Aku menggeleng. "Yang besar 'kan kontolnya, Om." Spontan dia menarik pipi kiriku dengan begitu kuat. "I-iya iya! Enggak Om, ini kecil aja lukanya," jelasku kemudian.

"Sudah kamu obati benar-benar?" tanyanya lagi.

Aku mengangguk pelan, dengan bibir terbuka sedikit saat fokus menatap wajahnya. "Ganteng banget," kataku seraya membelai rahangnya menggunakan jari telunjuk.

OM LAKSMADA Where stories live. Discover now