EMPAT : Jangan Pakai Itu

16.6K 277 18
                                    

Aku berencana menolak ajakan makan dari Tante Alana jika nantinya beliau datang untuk mengisi perutku. Namun, meskipun jam sudah menunjukkan pukul 8 malam, kesunyian di rumah ini membuatku merasa seolah-olah aku sendirian sejak pulang sekolah tadi. Suara mobil Om Lukas yang biasanya terdengar belum kunjung terdengar, padahal sejak sore, aku selalu duduk di depan jendela dengan harapan melihat salah satu dari mereka pulang. Situasi ini membuatku bertanya-tanya dan menciptakan ketidakpastian yang meningkatkan kegelisahan.

Sebab rencanaku adalah, mengadukan kejahatan Om Laksmada kepada mereka. Terutama Tante Alana, supaya suaminya jadi orang baik kepadaku. Toh, apa-apaan dia kasar sekali? Dia bisa saja pergi seperti biasanya, 'kan? Buat apa menciptakan jejak luka di susuku?

Dari aku, yang menolak sadar diri bahwa aku yang punya salah.

Pintu kamar tiba-tiba diketuk saat pemikiran singkatku tadi rada menggebu-gebu, kutebak itu bukan Tante Alana. Soalnya kalau wanita itu yang melakukannya, pasti lebih brutal dan disertai teriakan juga.

"Aretta." Benar, 'kan. Itu suara Om Laksmada, tapi aku enggan meresponsnya. "Buka, Aretta."

Cih. Apa dia pikir keramahan suaranya akan meluluhkanku?

HAMPIR!

Tapi aku tetap masih marah padanya, aku tidak mau berinteraksi dengan Om Laksmada lagi. Jadi pintu kamar kubiarkan terkunci dan pura-pura tuli dengan orang di luarnya sana.

Sampai suatu ketika, aku mendengar bunyi klek yang menandakan kunci kamarku bisa dibuka. Astaga! Aku hampir lupa kalau rumah ini milik Om Laksmada, tentu dia punya kunci ganda.

Terlihat dia berdiri di sana, pasti kaget melihat kamarku gelap gulita. "Kenapa gelap-gelapan?" Tidak. Aku juga tidak perduli akan pertanyaan itu, alhasil dialah yang menghidupkan lampu.

"Aretta," panggilnya lagi.

Tapi aku tidak berdalih, sok-sokan melihat ke luar di mana hanya ada kehampaan yang tidak menarik. Gila ya, padahal ada seseorang yang jauh lebih menarik di kamarku sini, tapi sedikit pun aku tak berniat menatapnya.

"Saya sudah nyiapin makan di atas me ...."

"Aku enggak mau makan, sana deh Om keluar aja. Jangan lupa kunci lagi," selaku.

Aku mendengar Om Laksmada menghela napas. "Maafkan saya, Aretta. Saya enggak bisa mengendalikan diri tadi, kamu ngeselin soalnya."

Dia malah mengata-ngataiku? Cih!

"Apa lecet? Sudah kamu obati?" tanyanya.

Aku menggeleng.

"Saya bawa P3K ...."

"Aku enggak mau, Om. Sana keluar aja!" Aku berdiri dan berbalik ke arahnya. "Astaga!" Lalu kaget ketika melihatnya hanya menggunakan lilitan handuk di pinggul, sisanya tahu saja, 'kan?

TELANJANG DADA WOY!

"Kamu bikin saya kepikiran, jadi saya langsung ke sini setelah mandi. Jangan lupa diobati." Dia meletakkan kotak obat yang dibawa ke atas kasurku, lalu berbalik dan pergi begitu saja.

Saat dia pergi, aku merasa kesal lagi. Lah kotak obat apa-apaan memang? Aku tidak mau mengobatinya! Semakin melukai hatiku saja. "AKU ENGGAK PERLU DIOBAT-OBATIN!" teriakku sambil meletakkan benda itu keluar kamar dan mengunci pintu lagi.

Tak ada yang terjadi setelah itu, lampu kamar juga sudah kumatikan. Namun tiba-tiba pintu kamarku terbuka lagi. Kini tampak Om Laksmada sudah pakai baju kaos, tapi bawahnya masih boxer saja. Itu terlihat jelas ketika lampu dihidupkan.

Aku menatapnya yang terlihat kesal sambil menjinjing kotak obat, dia pun berjalan mendekat. Seketika mirip hantu yang mau menyantap manusia, aku ketakutan dan berpikir mau loncat saja keluar jendela.

OM LAKSMADA Where stories live. Discover now