Lembaran Lima: Aku dan Kehilangan

81 22 0
                                    

Entah kenapa setelah berbincang banyak hal dengan bunda Aya, perasaanku jauh lebih baik. Mungkin selama ini aku hanya perlu mengeluarkan dan di dengar, dua hal sama sekali tidak pernah ku lakukan karena merasa baik-baik saja jika menyimpan sendirian.

Aku tersenyum mengenang obrolan kemarin. Saking senangnya, aku bahkan tidak ingin berpisah dari bunda Aya. Aku ingin terus berbicara dan berbicara lagi dengan wanita baik itu. Beruntung sekali yang menjadi anak bunda Aya, ia pasti mendapatkan kasih sayang berlimpah.

"Ada berita baik apa nih? Gak biasanya Putri Elsa senyam senyum pagi-pagi." Aku berbalik, ternyata dokter Joanne datang. Putri Elsa adalah panggilan kesayangannya padaku, katanya aku mirip ratu dari Arendelle itu.

"Dokter!!!" Aku menghampirinya heboh, membuat dokter Joanne terkejut bukan main.

"Heh jangan pecicilan dulu, luka operasinya belum sembuh." Dia mencubit lenganku gemas, kemudian menatapku seksama atas bawah, seperti memastikan sesuatu. "Kamu gak habis kepentok pintu atau jatuh kan? Kok kaya beda gitu ya."

Aku tertawa lebar. Tawa yang jarang sekali ku keluarkan. Pengaruh dari mood baik, membuatku mudah berekspresi.

"Dokter, aku boleh pulang hari ini kan?"

"Hmm iya, tapi kalo kaya gini mending di rawat lagi aja deh. Dokter mau cek kepala kamu takut ada komplikasi. Gak biasanya orang habis operasi malah berubah kepribadian."

Aku melotot tidak terima," ihh kok gitu?! Aku baik-baik aja."

Dokter Joanne menggeleng," kamu boleh pulang nanti siang, sekarang istirahat dulu sana! Kita cek kepala kamu dulu." Ucapnya tegas kemudian beranjak keluar dari kamar rawatku.

Aku mendengus sebal, dokter Joanne memang selalu seperti itu, sebelum keluar dari rumah sakit, dia selalu mengecek keadaanku berkali-kali. Aku tidak terlalu keberatan sih, malah aku senang dokter Joanne begitu memperhatikanku.

Sekarang pukul sembilan pagi, masih ada waktu beberapa jam sebelum siang tiba, lebih baik aku jalan-jalan saja siapa tau bertemu bunda Aya lagi. Aku melangkah keluar, kembali menyusuri lorong rumah sakit. Meskipun terhitung masih pagi, rumah sakit sudah ramai. Sesekali aku tersenyum saat melewati pasien lain. Aku terus berjalan hingga tanpa sadar sudah berada di lobby. Kuedarkan pandangan, memperhatikan sekitar. Tiba-tiba mataku menangkap sosok Nathanael berjalan tergesa-gesa melewati lobby.

"Nathan!" Panggilku sedikit keras, jarak kami tidak jauh, tapi sepertinya Nathan tidak mendengar.

Tanpa pikir panjang, aku segera mengikuti langkah cepat Nathan. Aku penasaran apa yang membuatnya begitu terburu-buru. Ahh iya, seingatku Nathan pernah bilang kalau bundanya di opname, apa jangan-jangan keadaan bundanya memburuk?

Aku menghentikan langkah saat Nathan dengan cepat membuat pintu kamar rawat di depannya. Aku mengatur napas yang sedikit tersengal. Alat di dalam tubuhku berfungsi dengan baik, saat detak jantungku melemah alat itu mengirimkan sinyal elektrik ke jantung.

Aku berjalan pelan mendekati kamar rawat itu. Sayup-sayup aku mendengar suara tangisan pilu dari sana. Aku mendengarkan dengan seksama, jelas itu suara Nathan memanggil-manggil bundanya.

Diam-diam aku mengintip ke dalam kamar rawat itu. Beberapa dokter dan perawat tampak tertunduk menyaksikan keluarga pasien menangis histeris. Aku dapat melihat dengan jelas, Nathanael menangis keras memeluk seseorang yang telah terbujur kaku, disampingnya ada dua orang laki-laki yang sama-sama menangis pilu.

Aku bergerak sedikit lebih maju, agar lebih leluasa melihat ke dalam. Aku penasaran siapakah sosok bunda yang tengah dipeluk Nathan. Persis saat Nathan terduduk lemas, aku dapat melihat jelas siapa wanita yang berada diatas tempat tidur itu. Aku tersentak, berusaha untuk tidak percaya dengan penglihatanku. Tidak mungkin. Wanita yang sedang ditangisi di dalam sana tidak mungkin bunda Aya. Kami baru bertemu kemarin, wanita itu baik-baik saja, bahkan ia bisa tertawa lebar tanpa beban. Tapi meskipun aku berkali-kali membuka dan memejamkan mata, berharap semua ini hanyalah khayalan, kenyataan di depan ku tidak dapat sangkal. Airmataku mengalir deras, bergegas menjauh dari sana, mendengar suara tangisan pilu Nathan membuat dadaku sesak.

How Can You Love Me || JaemrinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang