Lembaran Dua Belas: Aku dan Sepotong Sandwich

57 10 5
                                    

Jarum jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Aku berusaha keras berjalan pelan agar tidak menimbulkan suara. Beruntung sebelum pergi sore tadi, aku sempat diam-diam mengambil kunci serep rumah. Sebenarnya aku tidak tahu siapa saja yang berada di rumah, tapi sebagai antisipasi lebih baik aku masuk diam-diam. Bisa berabe kalau ternyata ayah tiba-tiba mun-

"Anj!" Umpatku seraya mengelus dada. Kupikir ayah yang berdiri bersandarkan tembok pembatas ruang tamu.

"Bang Jafh ngapain sih berdiri disitu?! Bikin takut ihh." Gerutuku sebal.

Bukan ayah yang berdiri melototiku sekarang, melainkan Jafhar, kakak pertamaku. Laki-laki yang tengah sibuk-sibuknya dengan skripsi itu tanpa ampun menjewer telinga kananku sampai panas. Sumpah sedikit lagi pasti telingaku sudah terlepas dari tempatnya.

"Darimana jam segini baru pulang?" Jafhar masih melotot galak, sambil berkacak pinggang ia kembali menjewer telingaku, kali ini sebelah kiri.

"Aduhh!! Aduhh!! Bang, lepas dulu!! Dengerin Nath ngomong!"

Masih dengan tampang sok galak, yang aslinya di mataku mirip kodok itu Jafhar akhirnya mau melepas jeweran mautnya.

"Nath habis main. Terus temennya Nath ada yang sakit, jadi Nath bawa ke dokter dulu."

"Yakan bisa ngabarin dulu. Kamu tuh kebiasaan loh, Nath. Hp tuh digunain, buat komunikasi. Kalo emang telat pulang kan bisa bilang dulu, biar orang-orang rumah gak khawatir nyariin." Aku menghela napas pelan mendengar omelan Jafhar yang terus berlangsung hingga sepuluh menit kemudian.

"Ngerti gak?!"

Aku mencebik, kemudian mengangguk cepat. "Iya iya paham. Intinya jangan dibiasain hilang tanpa kabar. Iya, Nath paham."

"Bagus. Sana bersih-bersih dulu, bau kamu kaya bau matahari."

"Jangan bilang ayah tapi kalo Nath pulang jam segini!"

"Hmm."

"Bang!!!"

"Iye cil, dah sono mandi. Kagak kuat gue cium bau lu kaya pemulung."

"Hehe Nath emang jadi pemulung." Sebelum mata Jafhar kembali melotot, aku segera berlari menuju kamar.

Di antara kedua saudaraku, aku memang lebih dekat dengan Jafhar ketimbang si cuek Nazhan. Jafhar itu selalu santai, dia bukan tipe yang keras seperti ayah, atau apatis seperti Nazhan. Jafhar juga selalu membelaku jika sedang bersitegang dengan ayah atau Nazhan. Pokoknya Jafhar itu paling top markotop.

Seusai mandi dan membereskan sedikit kekacauan di kamar, akhirnya aku bisa merebahkan diri di atas kasur. Mataku menerawang langit-langit kamar, seolah bisa melihat kilas balik kesibukanku hari ini.

Soal ucapanku tentang pemulung tadi, aku tidak berbohong. Setiap kali ditanya alasan terlambat pulang atau bolos les, aku selalu menjawab 'main'. Kata main disini bisa memiliki dua maksud. Alasanku bolos les dua hari yang lalu itu karena aku sibuk membantu mbak Riyanti mengajari anak-anak jalanan membaca dan menulis. Sementara alasanku terlambat pulang hari ini karena ikut Gino mencari barang-barang bekas di TPA, plus aku tidak berbohong soal temanku yang sakit. Gino memang sakit, jadi aku terpaksa membawanya ke klinik.

Ada beberapa alasan kenapa aku tidak pernah jujur soal kegiatanku di luar rumah. Satu, jelas bagi ayah, kegiatan-kegiatan itu hanya membuang-buang waktu. Bagi ayah, belajar adalah segalanya. Dia memasukkanku ke berbagai tempat les, meski pada akhirnya aku tetap mangkir alias bolos. Dua, lagi-lagi karena ayah. Laki-laki pasti akan setengah mati melarangku jika tahu aku bergaul dengan anak-anak jalanan, mentang-mentang pangkatnya Mayor Jenderal. Tiga, karena aku tidak ingin bunda khawatir. Bunda selalu khawatir aku terjerumus dalam pergaulan bebas, dan kalau bunda tahu aku malah berteman baik dengan anak geng motor, anak punk, bahkan preman jalanan bisa-bisa penyakit jantungnya kumat.

How Can You Love Me || JaemrinaWhere stories live. Discover now