Lembaran Tujuh: Nathanael, Senyuman dan Tangisan

89 19 0
                                    

Aku menatap gerbang masuk sekolah berkali-kali, berharap Nathan muncul bersamaan dengan para siswa lainnya. Tadi malam kami tidak sempat berbincang lama, kakak pertama Nathan, laki-laki muda yang ku temui waktu itu datang menjemput.

Lima belas menit kemudian Nathan tak kunjung muncul, padahal sebentar lagi bel akan berbunyi. Aku mendesah kecewa, apa yang terjadi pada Nathan? Apakah dia masih sakit? Atau dia masih menyalahkan dirinya?

"Rin, gue baru denger ternyata nyokapnya Nathan meninggal. Pantas aja dia gak masuk sekolah seminggu ini." Winter yang baru saja datang berucap sedih di sampingku. Ia menghela napas panjang, menyesal karena tidak tahu kabar itu dari awal.

Aku menatap Winter seksama. Kuperhatikan wajahnya yang muram dengan baik. Winter itu sangat ekspresif, dia selalu menunjukkan perasaannya secara terbuka, bahkan jika menyukai atau tidak menyukai seseorang. Saat itu aku sadar, Winter memiliki perasaan khusus pada Nathan. Ia bahkan ikut bersedih saat mendengar bunda Nathan pergi.

"Menurut lo, gue baiknya ngapain ya? Gue pengen bantuin Nathan. Gak salah kan kalo gue pengen hibur dia?"

Aku menggeleng," justru disaat-saat kaya gini, Nathan butuh orang-orang yang peduli sama dia. Lo udah deket sama Nathan dari dulu, tentu lo boleh hibur dia."

Kulihat senyum manis milik Winter merekah bak bunga musim semi. Matanya berbinar-binar senang. Sekilas aku melihat ada rona kemerahan di kedua pipinya.

"Lo mungkin udah nebak dari awal, gue suka sama Nathan. Iya, gue suka banget sama Nathan. Cuma Nathan yang bisa bikin gue selalu antusias demi bikin dia bangga. Gue sesuka itu sama Nathan." Ucapnya sambil tersipu malu.

Aku terkekeh pelan, menepuk-nepuk bahu Winter. Winter benar, aku sebenarnya memang sudah menebak-nebak bahwa orang yang disukai Winter adalah Nathan. Selama ini aku selalu mendengar cerita tentang Nathan dari Winter. Seharusnya aku senang, bukan? Winter menyukai orang baik, Nathan dan Winter akan menjadi pasangan yang cocok jika bersatu. Tapi entah mengapa, ada perasaan kecewa saat tahu orang itu adalah Nathan. Dari sekian banyak siswa di sekolah ini, kenapa aku dan Winter harus terjebak dengan orang yang sama.

"Ehh itu Nathan datang, gue samperin dulu ya." Tanpa menunggu jawaban, Winter sudah berlalu cepat menghampiri Nathan yang baru masuk melewati gerbang.

Aku menggigit bibir melihat interaksi Winter dan Nathan dari kejauhan. Aku merutuki diri, di depan Winter aku berlagak seolah mendukung, tapi saat sendiri aku malah menatap mereka penuh kecewa. Bukankah aku terlihat seperti orang munafik...

☘️

Tidak ada yang menarik hingga jam sekolah berakhir. Winter benar-benar menepati ucapannya untuk menghibur Nathan. Sepanjang jam istirahat, dia menemani Nathan di kantin, melakukan segala hal penuh perhatian. Sejenak aku menatap dua sejoli itu, bodoh sekali aku malah menaruh hati pada orang yang disukai temanku sendiri. Aku seharusnya sadar diri, Nathan lebih bahagia bersama Winter, dia bahkan bisa tersenyum lebar. Aku menghela napas lega, itu artinya permintaan bunda Aya telah terpenuhi, meski bukan aku yang melakukannya. Aku yakin Winter bisa membantu Nathan bangkit lagi seperti sebelumnya.

Aku melangkahkan kaki, berjalan menyusuri trotoar yang ramai oleh pejalan kaki dan pedagang-pedagang kaki lima. Jarak rumah ke sekolah memang tidak terlalu jauh, jadi aku memilih untuk jalan kaki saja, bagiku membawa kendaraan malah merepotkan. Sesampainya di rumah, aku mengernyit bingung melihat seseorang duduk di teras rumah dengan kepala tertunduk. Aku buru-buru membuka pagar dan menghampiri orang itu.

Aku terdiam berusaha menebak-nebak orang yang tertidur di depan rumahnya ini. Pelan-pelan ku sentuh bahunya. Dalam sekejap orang itu terbangun, mengangkat wajah sambil mengerjapkan mata sayu. Itu Nathanael. Apa yang dia lakukan di depan rumahku?

How Can You Love Me || JaemrinaKde žijí příběhy. Začni objevovat