Lembaran Tiga Belas: Aku dan Kesalahan

61 11 3
                                    

Dalam menjalani kehidupan, aku selalu percaya bahwa berbuat kebaikan akan membuka pintu-pintu kebaikan lainnya. Aku tahu, aku tidak bisa berbuat banyak untuk bunda. Aku tidak bisa menyembuhkannya meski dengan pengorbanan sekalipun. Aku juga tidak bisa meringankan sakitnya, meski bersikeras ingin menggantikan posisinya. Yang bisa ku lakukan hanyalah berbuat kebaikan, berharap sekecil apapun perbuatanku semoga dapat menjadi alasan kesembuhan bunda.

Aku tumbuh di dalam keluarga yang utuh. Aku memiliki ayah, bunda, dan dua kakak laki-laki. Tapi sesempurnanya keluarga cemaraku, selalu ada sisi gelap yang tidak pernah diketahui orang lain. Bagi orang lain, aku mungkin beruntung lahir sebagai anak bungsu di keluargaku. Sayangnya keberuntungan itu hanyalah sekedar status sosial saja, tidak untuk jiwa ragaku.

"APA-APAAN INI NATHANAEL?! NILAI KAMU TURUN LAGI. MALAM INI KAMU GAK BOLEH TIDUR DI KAMAR, SANA KE TERAS BELAKANG! TIDUR DISITU!"

Bersamaan dengan itu, ayah menyeretku ke belakang. Aku yang saat itu berusia sepuluh tahun, di dorong hingga tersungkur di lantai teras. Ayah menatapku tajam, sorot matanya seolah siap membunuhku kapan saja.

"JANGAN NANGIS! LAKI-LAKI TIDAK BOLEH MENANGIS! KALAU SAMPAI AYAH DENGAR TANGISAN KAMU, AYAH KURUNG KAMU DI GUDANG!"

BRAKKK

Pintu belakang rumah ditutup keras. Aku menundukkan kepala, berusaha membekap mulut sendiri agar tidak mengeluarkan suara tangisan, meski airmataku bak aliran sungai deras tak terbendung. Malam itu aku duduk di pojok teras, mendekap kedua lutut berusaha menghalau rasa dingin. Malam itu, sama seperti malam-malam sebelumnya ketika aku menghabiskan waktu dihukum tidur di teras, aku hanya bisa meringkuk di pojokan, berharap matahari segera terbit agar kegelapan di halaman belakang cepat berganti.

"Bentar lagi matahari terbit... Bentar lagi matahari terbit... Bentar lagi matahari terbit..."

Entah berapa kali aku mengulang kalimat itu hingga jatuh tertidur dengan posisi duduk. Saat itu yang kuharap hanyalah matahari terbit.

☘️

Beranjak usia belasan tahun, aku tumbuh dengan keras kepala dan keras hati. Jika dulu aku hanya bisa menangis tanpa suara saat ayah menghukum, di usia remaja aku bisa balik melawan.

Sama seperti anak SMP pada umumnya, aku menyukai hal-hal baru termasuk yang berbau negatif. Aku mengenal rokok, bahkan mohon maaf, aku juga diam-diam ngelem. Itulah juga yang menjadi alasanku berteman dengan anak-anak jalanan saat ini, karena aku pernah menjadi bagian dari mereka, dan aku ingin mereka tidak terjerumus sepertiku dulu.

Saat kelas tiga SMP, sama seperti sebelum-sebelumnya, ayah tetap memaksaku mengikuti berbagai les. Tapi karena saat itu ayah sedang di masa jaya-jayanya sebagai perwira tinggi, aku bisa leluasa berbohong, karena ayah tidak mengontrolku secara ketat. Aku menemukan kebebasan. Sesuatu yang membuatku terlepas dari segala belenggu yang ayah ikat, sekaligus kegairahan yang belum pernah ku rasakan. Seperti yang telah ku jelaskan sebelumnya, rokok dan ngelem adalah hal biasa kulakukan hingga kelas dua SMP. Untuk menutupi perbuatanku, aku sengaja membawa baju ganti, menyemprotkan parfum, seolah tidak pernah menyentuh dua benda terkutuk itu. Tapi jelas semuanya memiliki dampak. Bunda yang pertama kali menemukan keanehan pada diriku.

"Nath kenapa? Masakan bunda gak enak?"

Aku menatap bunda lamat-lamat, kemudian menggeleng pelan. Akhir-akhir ini aku memang tidak nafsu makan.

"Nath?"

Aku tersentak hebat, keberadaan bunda di depanku tiba-tiba membuat tubuhku bergetar. Rasa cemas dan gelisah terus-terusan menghantui, seolah takut bunda tahu kelakuan burukku di luar sana.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 19 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

How Can You Love Me || JaemrinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang