AB-1

1.1K 113 5
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

*
*
*

Lama ya, cerita ini memang slow update. Masih ada satu cerita lain yang juga on going. Buat yang setia nunggu, makasih.

Cerita ini juga nggak akan terlalu panjang. Sekian pemberitahuan dari aku.

Jangan lupa coment nya biar aku semangat updatenya.

_°>,<°_

Seorang gadis berambut panjang mengendarai motor sport-nya secara ugal-ugalan, tanpa kenal rambu-rambu lalu lintas. Semua di terabas.

Jaket kulit hitam yang melekat di tubuh rampingnya, menambah kesan tomboinya. Di dekat gerbang sekolah yang hampir di tutup oleh Pak Basir--satpam sekolah berkumis tebal itu, Agni tanpa adab menendang gerbang itu sampai terbuka.

Pak Basir? Sudah jatuh dengan tidak elit ke tanah. Jangan lupakan tangannya yang tergencet kebrutalan Agni hingga lecet.

"Bener-bener nggak ada akhlak-nya anak jaman sekarang!"

Agni yang berhasil memarkirkan motornya di parkiran, melepas helm fullface-nya. Menaruh di stang motor, melepas sarung tangannya, habis itu melenggang santai menuju kelas.

Bunyi letusan balon dari permen karet di mulutnya, membuat beberapa teman-temannya menoleh. Tentu saja hal itu langsung di sambut tatapan tajam darinya.

"Apa lo liat-liat!"

"Wajar lah orang kita punya mata." Balas seorang teman sekelasnya.

"Ya biasa aja dong! Pake segala melotot."

"Gue ketua kelas di sini, dan lo selalu cari gara-gara! Gue yang kena tegur guru, tau lo?!" sentak Dila, ketua kelas yang terkenal galak itu.

Agni melengos. "Benerin dulu idup lo, baru ngurusin idup orang."

Dila yang tak tahan menarik rambut Agni. Dengan gesit Agni memelintir lengan Dila ke belakang tubuh, membuat gadis itu kesakitan.

"Kalo lo nggak mau gue ada di kelas ini bilang ke guru! Jangan ngomel ke gue." Lalu menghempaskan tangan Dila.

"Dasar cewek barbar lo!"

Agni menyeringai. Sebelum keluar kelas, ia menendang sebuah kursi kemudian menginjaknya. "Dah tahu 'kan lo. Lain kali jangan ngundang macan ngamuk, kalo nggak mau idup lo gue bikin sengsara!"

_0o0_

Di belahan bumi lain, seorang lelaki yang mengenakan sweater hoodie biru dengan celana panjang chinno memasuki sebuah pasar.

Pukul sembilan lebih tiga puluh menit, pasti penduduk sekitar sudah bersiap di pasar. Setelah tinggal di kota Kairo selama kurang lebih empat tahun, ia mulai mengerti kebiasaan orang-orang sini.

Warganya yang suka bercengkrama pada banyak orang. Siapa pun yang lewat akan mereka ajak bicara. Untuk seorang yang pendiam, mungkin mereka berpikiran warga Kairo terlalu suka basa-basi. Ya, memang seperti itu adanya.

Namun, bagi Albirru Jazim atau yang akrab di sapa Gus Birru ketika berada di negaranya itu suka bercengkrama dan merasa senang bisa berada di kota ini.

Menjelajah pasar, menyapa ramah pedagang pernak-pernik, pakaian, perjual ayam sampai ia tiba di tempat penjual ikan.

Berbagai jenis ikan berjejer di depan, ada ikan kecil-kecil, ikan tongkol, ikan makarel, udang, cumi-cumi ukuran jumbo dan kepiting bahkan ada belut juga.

Di balik meja tempat meletakkan ikan, ada sekat bagi pembeli untuk memilih ikannya sendiri. Kemudian tempat menimbang ikan ada di belakangnya.

Jika di Indonesia kebanyakan ia menemukan ikan yang sudah di bersihkan, di sini berbeda. Selain penjual yang bertugas menawarkan ikan dagangannya, ada juga orang yang bertugas menimbang, membersihkan ikan dan mencucinya.

Gus Biru bergeser, mengamati seorang pemuda yang mengenakan celemek dari karung dengan sebelah tangan memegang pisau besar lalu sebelahnya lagi di balut sarung tangan karet. Dia yang bertugas membersihkan ikan setelah di timbang.

Selain itu, pembeli bisa langsung menikmati ikan goreng yang ada di ujung sebelah kanan. Sedangkan ujung sebelah kiri ada sebuah alat pemanggang besar yang di atasnya ada ikan bakar. Bentuknya mirip oven besar.

Ada beberapa ikan utuh yang di panggang, juga satu ikan besar yang di belah dua. Di dalamnya beda lagi, ada ikan lainnya. Bagian atas juga bisa untuk memanggang.

"Assalamualaikum, ana beli satu ikannya." Gus Birru mengangkat tangannya, membuat penjual gegas menimbangnya.

"Di bakar?" tanya si penjual menggunakan bahasa arab khas Mesir.

Gus Birru mengangguk. Sembari menunggu, ia menyempatkan waktu mengulang hapalannya.

Ia tahu bukan orang baik, tapi semenjak menemukan ketenangan di kota ini, ia belajar istikomah.

Hapalannya terjeda saat dering ponsel dari dalam saku celananya terdengar. "Assalamualaikum, Ummi!"

Sahutan wanita di seberang saja mengalun lembut. "Piye kabare, Le?" (gimana kabarnya, nak?)

"Alhamdulillah, sehat Ummi. Keluarga gimana kabarnya?"

Helaan napas ibunya membuat Gus Birru mengernyit. "Ummi ada masalah?"

"Ummi kangen, Le. Pulang yo."

"Mi, Albi masih ada urusan di sini." Gus Birru merendahkan nada bicaranya di kalimat terakhir.

"Kamu ndak kangen Ummi?"

Gus Biru gegas menggeleng. "Albi kangennnn banget, Ummi 'kan cinta pertama Albi."

"Yo wis, balik. Ummi ndak percaya sebelum liat kamu ngomong langsung."

"Astagfirullah, Ummi. Albi ndak bisa pulang sekarang. Albi--"

"Mau sampai kapan kamu marahan sama Mas mu?"

Gus Birru terdiam, tangannya mencengkram meja. "Albi minta pengertian Ummi, ya. Albi belum siap ketemu Mas Syaqib."

"Mas mu bentar lagi mau nikah, kamu tetap ndak pulang?"

Pertanyaan itu mengantuk tanpa jawaban selama beberapa saat. Sampai akhirnya, Gus Birru menghela napas panjang. "Nanti Albi kabarin lagi, ya, Ummi. Albi sekarang masih di pasar."

"Ummi tunggu. Jaga kesehatan di sana. Tetap di jaga sholatnya."

"Iya, Mi." Setelah salam sambungan itu terputus.

"Hei, tangan antum!" Teriakan penjual ikan itu menyentak kesadaran Gus Birru.

Sengatan panas yang tadi sama sekali tak di rasakannya kini menyebar hingga membuat tangannya kebas. Ternyata yang di cengkramnya bukan meja, melainkan tepi panggangan.

"Cepat, cepat basuh!" Perintahnya lagi.

Masih agak linglung, Gus Birru membawa langkahnya ke tempat pencucian ikan.

"Jangan lupa obati." Penjual ikan yang memanggang tadi menepuk dua kali bahunya.

Ternyata rasa kesalnya masih belum sepenuhnya luntur.

Di lain sisi, alarm tanda kebakaran terdengar nyaring ke seantero sekolah. Entah apa penyebabnya, yang jelas semua siswa-siswi berlari ketakutan keluar kelas.

Semuanya saling berlomba-lomba menyelamatkan diri. Sementara Agni yang ada di rooftop tersenyum melihat kobaran api itu.

"Mati kebakar kayaknya seru juga."

_________

Tbc.

Jangan tiru Agni Jaman jahiliyah, pikirannya emang suka nggak ngotak😫

Tolong tandai typo atau mohon koreksinya kalau ada hal yang janggal.

Jazakumullah Khairan Khatsiran.

AGBIRWhere stories live. Discover now