6. My Lecturer my husband

210 26 13
                                    

Hening mendominasi keadaan kamar setelah keduanya kembali dalam ketenangannya masing-masing. Sarada tergopoh memegang perut besarnya, sembari menunduk-nunduk kesusahan memunguti pakaiannya yang berserakan.

Boruto yang melihat itu segera dengan tiba-tiba menuntun Sarada untuk duduk di ranjang, kemudian pria itu yang malah membereskan pakaian Sarada. Bahkan menatanya kembali ke dalam lemari

Sarada hanya terdiam memperhatikan setiap pergerakan Boruto. Setelah selesai, Boruto segera menyusul duduk di samping Sarada. Mereka saling memandang. "Sebenarnya ... saya, adalah Putra mahkota, Uzumaki Boruto. Bukan pemilik asli dari raga ini. Entah bagaimana bisa jiwa saya tersasar ke dalam tubuh ini, saya tidak tau. Kamu bilang tadi, kamu adalah Uchiha Sarada 'kan, bukan Sarada Nalara Fahira, alias pemilik asli raga ini? Kamu Putri Uchiha bukan?" Sarada diam.

Boruto kembali berucap, "Percayalah, saya adalah Putra mahkota Uzumaki Boruto."

Cukup membuat Sarada terkejut, "Bagaimana mungkin? Bukankah kau sudah tiada?"

Boruto menggeleng. "Saya tidak tau, tiba-tiba saya bangun, dan berada di dunia ini. Apakah kamu juga sama, Putri?"

"Apa buktinya jika kau adalah Putra mahkota Uzumaki?" Sarada masih kurang percaya.

Boruto menghela napas, sepertinya dia memang harus menjelaskan. "Kamu, Putri Uchiha Sarada, sangat suka dengan misteri-misteri dunia ini. Setiap hari kamu hanya memburu Mitologi."

Sarada memejamkan matanya erat. "Bagaimana bisa?" lirihnya.

"Bagaimana?" Boruto menatapnya lekat.

Sarada mengerutkan keningnya. "Bagaimana?" Malah bertanya balik.

Boruto masih menatapnya dengan lekat. "Mari perbaiki semuanya, di sini," ucap Boruto dengan mantap.

Sarada geleng-geleng tidak habis pikir dengan pria ini. "Semudah itu kau berkata."

Boruto menggenggam kedua tangan wanita itu. "Saya mohon, Putri Sarada. Saya benar-benar menyesal atas kesalahan yang dulu pernah saya lakukan pada kamu."

"Kau menyesal atas apa yang dulu kau lakukan kepada Putri Uchiha Sarada, lalu bagaimana dengan wanita ini? Apakah kau tidak merasa bersalah sama sekali?" Boruto terdiam.

Sarada membuang wajah. "Mungkin memang awalnya dia yang bersalah, menjebak Boruto Narendra dalam sebuah satu malam. Tetapi, apakah pantas setiap saat, kau dan anakmu itu selalu menghinanya ...."

"Maaf," Hanya kata itu yang dapat Boruto utarakan. "Saya sendiri tidak tahu-menahu tentang mereka berdua. Ketika saya berpindah ke dalam raga ini, semuanya sudah terjadi. Kemudian Bumi menceritakan semuanya kepada saya—"

"Bumi tau, jika kau bukan jiwa asli Ayahnya?" potong Sarada.

Boruto menggeleng. "Tidak, sewaktu itu saya hanya bertanya apa yang terjadi, dan bersandiwara seolah Ayahnya yang memang lupa. Saya tau semuanya dari cerita Bumi."

"Dan kau masih memperlakukan wanita ini dengan tidak layak."

Boruto menunduk. "Maaf."

Sarada menghela napas. "Sudahlah, lebih baik pikirkan bagaimana caranya bisa kembali."

Boruto menatap wanita itu. "Lalu, bagaimana bisa kamu juga berada di sini?"

"Dan kau? Bagaimana bisa kau berada di sini?" Sarada melempar balik pertanyaan.

Boruto menghela napas. Terkekeh miris. "Kamu tau, malam itu, di tebing tinggi atas sungai, saya ... memergoki Sumire sedang berselingkuh, bahkan tengah berciuman dengan selingkuhannya." Boruto kembali terkekeh. "Bahkan saya saja berusaha menahan diri agar tidak mengotorinya, tidak pernah walau mencium keningnya sekalipun, dan dia malah dengan mudahnya memberikan bibir kepada pria lain. Saya mengamuk mereka hingga bertarung dengan selingkuhannya. Dan mengenaskannya, Sumire sendiri yang mendorong saya hingga terjatuh dari atas tebing. Kamu tau, Putri kepala pelayan itu bahkan menyelingkuhi saya hanya dengan anak tukang kue Taiyaki Konoha, sungguh, dia membuang berlian demi batu krikil."

Sarada tersenyum smirk, mengelus perut besarnya, dan terkekeh. "Dan kau juga sama, bahkan kau lebih idiot darinya, Pangeran Boruto. Kau membuang permata hanya untuk secuil batu kali. Hukum karma itu nyata adanya, Pangeran Boruto. Kau telah merasakan apa yang aku rasakan sewaktu kau memperlakukanku dengan sangat tidak adil."

Boruto kembali menggenggam kedua tangan Sarada. "Maaf. Tolong maafkan saya, Sarada."

Baru saja Sarada akan kembali bersuara, tetapi ketukan yang terdengar berasal dari kaca jendela kamar. Melihat Sarada yang melepaskan genggamannya dan memegangi perut akan bangkit, Boruto segera menahannya. "Biar saya saja." Pria itu berjalan ke arah jendela kamar yang diketuk-ketuk terus sedari tadi.

Boruto mengerutkan keningnya. "Burung Gagak?" Boruto segera menggeser ke atas jendela tersebut guna membukanya. Tangan kekarnya mengambil segulung kertas yang terlihat tercucuk pada paruh burung serba hitam itu, dan kembali menutup jendela ketika Gagak tersebut terbang pergi.

Boruto membuka gulungan kecil itu sembari kembali mendekati Sarada. Mereka membaca dengan teliti, setiap kata yang tertulis di sana.

Aku melakukan ini kepada kalian supaya dapat menyelesaikan permasalahan kalian, bukan malah bertengkar seperti tadi! Selesaikan masalah kalian, lalu hiduplah dengan bahagia

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Aku melakukan ini kepada kalian supaya dapat menyelesaikan permasalahan kalian, bukan malah bertengkar seperti tadi! Selesaikan masalah kalian, lalu hiduplah dengan bahagia. Oh ya Jangan pernah berharap untuk dapat kembali lagi, karena selamanya kalian tidak akan bisa kembali. Memang itu sudah hukum alamnya. Untuk kehidupan kalian di kerajaan, kalian sudah mati. Ingat! Selesaikan masalah kalian, dan hiduplah dengan bahagia, di dunia yang kalian tempati sekarang.

Tertanda penyihir paling tenar,

Sassafras.

"Sialan!" Sarada mengumpat begitu membacanya.

Boruto langsung menatap wanita itu dengan tajam. "Jaga bicaramu, kmu sedang hamil." Mengelus lembut kepala Sarada. "Jadi, bagaimana bisa kamu sampai di sini?"

TBC

Gimana gaess part ini!!

Komennya dong!!! Biar tambah semangat cepet update!! Kali-kali lahhh

My Lecturer my husband Where stories live. Discover now