two: placed in danger

732 120 100
                                    

\\London, Januari 2024

-

BECKY

Morty and Bob's memiliki ciri khas, kotak kemasan kuning cerah dengan tinta hitam terukir tegas. Semenjak bergabung di lantai dasar gedung Edmans & Co aku selalu menjadikannya alternatif teratas di tengah jam makan siangku yang terbatas. Mereka punya sandwich yang lezat.

Pagi ini aku menemukan kotak kuning itu di meja kerjaku. Aku mengintip isi di baliknya. Hanya ada satu orang yang menghafal dengan baik menu favoritku. Aku menggeleng, menahan senyum kecil. Lain waktu aku harus lebih detail pada Jane. Menolak kopi dan dia malah menyiapkan roti lapis untukku.

"Kamu bisa meminta Bert menghangatkannya." Jane, si pelaku, bersandar dagu di dinding pembatas kubikelku. Dari caranya berdiri tampaknya perempuan itu tiba lebih lama dari yang bisa aku duga.

Bert adalah pesuruh kantor yang ditugaskan di lantai kami. Menurut cerita yang aku dengar Bert menaruh ketertarikan pada Jane. Tidak mengejutkan, terlalu sulit mengabaikan perempuan secantik Jane. Itu mengapa pria berambut cokelat terang itu amat penurut. Apa pun yang Jane perintahkan Bert akan selalu bergerak secepat kilat.

"Tidak perlu, Jane. Aku bisa melakukannya sendiri." Bagaimanapun aku adalah karyawan baru. Lagi pula dapur kami memiliki peralatan lengkap. Ini bukan sesuatu yang menyulitkan.

Sesudah menukar kets ke stiletto aku bergerak menuju pantri. Aku lebih suka menggunakan sesuatu yang ringkas dalam perjalanan mengejar kereta. Satu waktu aku memakai sepatu cantikku. It was really a bad day! Aku bersumpah tidak akan mengulanginya. Tumitku lecet dan beberapa luka kecil lainnya di punggung kakiku.

"Anyways, thank you, Jane." Itu, sandwich pemberiannya. Aku berdiri tak jauh dari microwave selagi Jane duduk di meja bundar. Seniorku itu mengangguk kecil. "Jangan terlalu sering melakukannya. Aku tidak enak dengan karyawan lain."

Jane tertawa. Reaksinya selalu saja seringan itu. Dengan ahli dia mengubah topik. "Sampai kapan kamu mau tinggal di Cambridge, Bec? Apa tidak lelah seperti ini setiap pagi?"

Aku mengerucutkan bibir. Ini bukan pembicaraan pertama kami. Jane tak pernah menyerah membujukku pindah ke apartemennya. Dia tinggal sendiri. Dibanding aku yang menghabiskan satu jam di perjalanan untuk menuju kantor, Jane hanya butuh kurang dari lima belas menit.

"Kamu tahu alasanku, Jane." Aku memberinya senyum pemakluman.

Apartemenku yang sekarang telah kutempati lebih kurang—wait, let me count—tujuh atau delapan tahun, sejak tahun pertamaku di universitas. Selain terlalu nyaman dengan lingkungannya aku juga tidak terlalu suka berpindah. Mengepak barang hanya untuk membongkar dan menatanya di lain waktu. Hhh, it would be an exhausting journey.

Jane mengedikkan bahu, menyerah. Mungkin hanya untuk hari ini.

Perempuan itu duduk tenang di seberang meja, mengamati aku yang sedang menyantap cheese sandwich dengan topping daging asap dan jamur. Kali pertama melakukannya, saat aku masih karyawan magang, Jane memesankan isian tuna—yang berakhir dengan aku muntah-muntah di wastafel kantor. Sejak itu Jane mengingatkan dirinya untuk menjauhkan segala hal berbau tuna dariku.

"Kamu ada rencana pulang ke Birmingham?"

Aku mengangguk dan menyelesaikan kunyahanku. "Hopefully this weekend."

"Kita bisa pergi bersama?" Jane menggantung kalimatnya. Dia menunggu reaksiku. "Aku perlu membeli sesuatu dan itu hanya ada di Birmingham." London sebagai kota yang menyandang daerah seremonial jelas berbeda dengan Birmingham yang metropolitan.

Everything is Enough: Back to YouWhere stories live. Discover now