twenty: threat from london

747 109 204
                                    

\\Bangkok, Maret 2024

-

FREEN

Mana yang lebih menakjubkan, langit biru jernih atau wajah cantik kekasihku?

Hem, berat. Selagi menunggu aku memilih mengabadikan keduanya melalui kamera ponsel. Becca tidak tahu. Aku melakukannya diam-diam. Aku di sofa, dia di depan cermin. Berkali-kali gadis Inggris itu mematut penampilan. Ada saja yang kurang di matanya.

Becca sudah cantik, apalagi yang mau dilakukan? Dia menolak mendengarkanku. Katanya, kalau biasa saja Becca khawatir aku menaksir perempuan lain. Aku terkejut dan tertawa. Bisa-bisanya. Aku memang mencintai Becca dan dia perempuan, tetapi apa Becca kira aku menyukai semua perempuan? Memikirkannya saja aku jeri.

"Bb, kita bisa terlambat," tegurku. Jalan raya di Sabtu pagi barangkali tidak sepadat hari biasa. Hanya saja lebih baik berjaga-jaga. Kami juga belum menyarap. Aku tak yakin keburu.

"Mmm." Becca berpaling. "How do I look?"

Becca menawan dalam blus berwarna karamelnya. Gadisku cantik dan bersinar. Aku menyipitkan mata, Becca menyambut uluran tanganku. Perempuan itu tersenyum selagi aku merengkuh pinggang rampingnya. "You are a ten."

Jemari ramping lawan bicaraku mengusap lembut bahuku sebelum sang pemilik membungkuk dan menempelkan hidung mancungnya di pipiku. Becca tidak mengecupku dengan bibirnya. Dia tak mau merusak riasanku dengan menyisakan jejak lipstik merahnya.

Kami meninggalkan unit apartemen. Becca menggelayuti lenganku di sepanjang koridor menuju elevator. Aku seperti membawa bayi koala. Atau, kucing kecil yang manja? Ha-ha. Jangan katakan padanya, tolong. Berbahaya jika Becca mengalami mood swings. Lagi pula aku tidak keberatan. Itu, Princess Rebecca and her clingy side.

"Ini bagaimana? Masih susah napasnya?" Sebelah tangan Becca memelukku sembari tangan yang satu lagi meraba hidungku. "Obatnya, jangan lupa."

"Iya, Baby. It's getting better."

Becca memiringkan kepala. Dia tidak peduli pada sekitar. Hanya aku. Tidak juga pada seseorang yang berlari dan memintaku menahan pintu elevator untuknya. Perempuan eksotis itu, aku ingat, dia tetangga Becca. Aku melihatnya beberapa jam lalu. Wow, dia telah rapi dalam setelan kerja sementara dua jam lalu aku masih melihatnya bersiap pergi olahraga.

"Bec?" Perempuan itu menyapa Becca.

Eh, dia mengenal gadis Inggrisku? Tsk, Freen, mereka tetangga.

Becca menoleh. "Oh, hai, Jane!" Jane? Di mana aku pernah mendengarnya? "Babe, seniorku," terang Becca padaku. Gadis itu bergeser ke sisiku tanpa mengurai pegangannya pada lenganku. "Aku memberitahumu kemarin."

"Ah!" Aku tersenyum. Bright dan Jane. Kami saling mengangguk tipis.

Hanya perasaanku saja atau perempuan bernama Jane ini seperti melakukan inspeksi kilat? Mata besarnya mengamatiku. Dia hanya tersenyum sangat sedikit, lalu berputar untuk memunggungi kami. Ada apa dengan teman-teman Becca? Kemarin Bright, sekarang Jane. Mereka seperti selalu tidak menyukaiku.

"Kali ini aku serius," Becca tetiba saja bicara.

"Huh?"

"Bilang padaku saat sinus PiFin kumat." Becca merangkup pipiku, mencuri atensiku tertuju hanya untuk dia. "Apa susahnya mengetik pesan singkat? Tidak perlu bertele-tele. Paling tidak aku tahu PiFin tidak baik-baik."

Aku tertawa, yang dengan refleks dihadiahi cubitan pedas di perutku. Becca tidak acuh aku memberengut. Gadis itu hanya mengusap korban kekerasannya tanpa mengubah ekspresi dingin di wajahnya. Kuharap Becca tidak lupa, kami di elevator, masih pagi, ribut, dan dengan seniornya bersama kami. Tak mau memperpanjang perdebatan aku lekas mengiakan.

Everything is Enough: Back to YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang