nineteen: a promise between us

600 109 118
                                    

\\Bangkok, Maret 2024

-

BECKY

Bangkok memiliki dua matahari? Tidak. Tiga.

Bright menghidupkan semua penyejuk ruangan. Tetap saja tak menghindarkan kami dari kegerahan. Aku berulang kali mengipas-ngipas kerah blusku. Tidak membantu. Segelas air dingin pun hanya bertahan sesaat. Bagaimana kabar di neraka kelak?

"Astaga, aku mau secepatnya pulang." Bright menjatuhkan punggung ke kursi.

Aku meringis. Bright benar. Sekalipun langit London cenderung tak dapat ditebak, hujan ringan kerap datang tanpa permisi, jelas lebih baik dibanding 37 derajat Celcius di Kota Bangkok. Masih tiga bulan menuju musim panas. Aku tak mengerti kiat masyarakat Thailand bertahan selama ini.

Kepulangan kami besar kemungkinan diundur. Bukan kabar baik bagi Edmans & Co.

Dua malam lalu Mister Helmut, Bright, dan aku melakukan conference call. Tuan Muda Livingston kecewa—jika murka terdengar terlalu mengerikan. Aku menunduk. Bright samsak utama. Berulang kali kami diingatkan perihal deadline. Maksimal dua bulan. Kesalahan fatal. Many more. Maret berakhir dalam dua pekan, tetapi Bright sendiri tak cukup yakin.

"Do you want iced coffee?" Aku berniat meminta bantuan pesuruh kantor untuk mengorder di kedai depan. Cuaca panas selalu membuatku kesulitan berpikir. "Bright, halo?"

"Ah, y-ya." Tangan besar Bright merangkum wajahnya. "Sorry, Bec."

Aku tersenyum maklum. Aku kasihan pada seniorku itu. Meskipun di lain sisi aku bersyukur. Bright jadi lebih pendiam dan tak bawel untuk urusan yang tak perlu. "So, wanna?" Aku mengulang tawaranku.

Bright mengiakan. "Thank you, Angel." Hhh, kaaan.

Langkahku berhenti di pantri. Phi Dang tersenyum ke arahku. Usai menyampaikan pesanan dan memberi beberapa lembar Baht[31], aku kembali menuju ruang pertemuan. Omong-omong, apa PiFin telah selesai rapat internal? Dia memberi tahu dalam pesan terakhirnya. Babe, pulang nanti aku mau es krim! Kirim. Selesai. Aku tertawa, dan tak sabar.

Aku mendorong pintu. "Ouch!" Seseorang mengaduh. Ups.

What the! Surprise, surprise, Jane berdiri di hadapanku bersama cengiran lebarnya.

"Maganda." Jane memelukku sebelum aku sempat mencerna situasi. "Kamusta ka[32]?"



FREEN

Ah, ya dom, penyelamatku.

Sinusku kumat. Cuaca panas terik. Hadirnya memang tak dapat diprediksi. Benar-benar sesuka hati. Aku bersandar di kursiku dan terus bergantung pada inhaler di tanganku. Becca tidak kuberi tahu. Hanya tak mau dia khawatir. Gadis Inggrisku sudah cukup dipusingkan dengan masalah pekerjaan.

Seolah tahu aku sedang memikirkannya, ponselku berdenting. Becca mau es krim? Aku tertawa gemas. Dia pasti imut sekali. Aku memejam, mengangankan wajah cantik kekasihku.


Babe

Siap, laksanakan, Baby. ;)


Permintaan Becca bagaikan penyuntik semangat. Tadinya hasil rapat membuatku lemas, ada setumpuk target yang harus tim kami kejar. Belum lagi iklim Bangkok yang menggila. Kondisi tubuhku sering kali menjadi sasaran pertama.

Everything is Enough: Back to YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang